Mohon tunggu...
Tias AyuArsita
Tias AyuArsita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

peran media dalam mengubah lanskap politik internasional

23 Januari 2025   02:10 Diperbarui: 23 Januari 2025   02:07 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengaruh media sosial dalam politik semakin nyata. Penelitian menunjukkan bahwa media sosial sangat memengaruhi preferensi politik masyarakat. Para calon politik memanfaatkan media sosial untuk menjangkau audiens yang lebih luas, terutama generasi muda yang lebih aktif di dunia digital. Selain itu, media sosial juga menjadi alat yang ampuh untuk membentuk opini publik dan menggerakkan massa.
Namun, di balik potensi positifnya, media sosial juga membawa sejumlah tantangan. Penyebaran informasi palsu atau hoaks, polarisasi opini, dan manipulasi data adalah beberapa masalah yang sering muncul di dunia maya. Algoritma yang digunakan oleh platform media sosial juga berperan penting dalam menentukan konten apa yang dilihat oleh pengguna, sehingga dapat memperkuat bias dan polarisasi. Dalam konteks pemilihan umum, media sosial telah mengubah cara kampanye dilakukan. Para kandidat tidak hanya berlomba untuk mendapatkan suara terbanyak, tetapi juga berjuang untuk menguasai narasi publik di media sosial. Hal ini membuat persaingan politik menjadi semakin sengit dan kompleks.

Melalui mekanisme filter bubble dan echo chamber, algoritma ini secara efektif menyaring informasi yang disajikan kepada pengguna, sehingga membentuk semacam "gelembung" di mana individu hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan keyakinannya. Akibatnya, muncul polarisasi opini yang tajam dan sulit untuk dijembatani. Lebih jauh lagi, algoritma ini dimanfaatkan oleh aktor politik untuk menyebarkan propaganda dan memanipulasi opini publik, sehingga memengaruhi perilaku pemilih dalam proses demokrasi. Dengan demikian, media sosial tidak hanya menjadi wadah untuk berinteraksi, tetapi juga menjadi alat yang sangat ampuh untuk membentuk persepsi, menggerakkan massa, dan pada akhirnya, memengaruhi hasil pemilu. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya literasi digital dan regulasi yang tepat dalam menghadapi tantangan baru dalam dunia politik yang semakin didominasi oleh teknologi informasi.

Dalam konteks filter bubble dan echo chamber, algoritma media sosial secara sistematis menyajikan informasi yang konsisten dengan pandangan dan preferensi pengguna. Paparan berulang terhadap informasi yang sama ini menciptakan semacam "priming" kognitif, di mana konsep-konsep yang terkait dengan pandangan tersebut menjadi lebih mudah diakses dan diaktifkan dalam pikiran pengguna. Akibatnya, individu cenderung menginterpretasikan informasi baru melalui lensa dari pandangan yang telah "di-prime" sebelumnya. Fenomena ini memperkuat polarisasi opini, karena individu semakin sulit untuk mempertimbangkan perspektif yang berbeda. Selain itu, priming juga dapat memengaruhi perilaku politik individu, seperti pilihan partai politik atau tingkat partisipasi dalam pemilu. Dengan kata lain, melalui mekanisme priming, algoritma media sosial tidak hanya membentuk opini publik, tetapi juga mengarahkan perilaku politik masyarakat.

Meskipun teori priming memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang bagaimana algoritma media sosial dapat memengaruhi opini publik, penting untuk diingat bahwa individu bukanlah penerima pasif informasi. Manusia memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, menganalisis informasi, dan membentuk opini secara mandiri. Literasi digital yang memadai memungkinkan individu untuk mengenali bias dalam informasi, membandingkan berbagai sumber, dan memverifikasi fakta.

Argumen bahwa individu sepenuhnya pasif dan mudah dimanipulasi oleh algoritma mengabaikan peran aktif yang dimainkan oleh pengguna dalam mengkonsumsi media sosial. Banyak pengguna secara sadar memilih untuk mengikuti akun-akun yang menyajikan berbagai perspektif, bahkan jika berbeda dengan pandangan mereka sendiri. Selain itu, adanya komunitas online yang beragam dan platform untuk berdiskusi memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda, sehingga dapat menantang asumsi dan memperluas wawasan.


References
 
BBC.com, “Rusia ‘meddled in all big social media’ around US election”, BBC.com, 17 Desember 2018, https://bbc.com/news/technology-46590890, diakses 17 Oktober 2023. Bjola, Corneliu. (2017). Propaganda in the digital age. Global Affairs. 3. 189-191.
 
Bozdag, Engin & van den hoven, Jeroen. (2015). Breaking the filter bubble: democracy and design. Ethics and Information Technology. Bradshaw, Samantha dan Philip N. Howard, “The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”, 2019, Computational Propaganda Research Project.
 
Burgess, J., & Bruns, A. (2012). (Not) Twitter Election: The Dynamics of the #autovotes Conversation in Relation to the Australian Media Ecology. Transformative Works and Cultures, 6(3), 384-402. https://doi.org/10.1080/17512786.20 12.663610
 
Cahyani, V., Ilhamsyah, I., dan Mutiah, N. (2021). “Analisis Tingkat Literasi Digital pada Generasi Z dengan Menggunakan Digital Competence Framework 2.1 (Studi Kasus: Mahasiswa FMIPA Untan). Coding Jurnal Komputer dan Aplikasi, 9(1), 1–11.
 
Da San Martino, G., Cresci, S., BarrónCedeño, A., Yu, S., Di Pietro, R., & Nakov, P. (2020). A survey on computational propaganda detection. ArXiv E-Prints Fabianus Fensi, “Peran Media Sosial dalam Pembentukan Karakteristik Siswa SMA & SMK Bhinneka Tunggal Ika Jakarta”, Jurnal Pengabdian dan Kewirausahaan, (online), volume 4, no. 2
 
Gabriel Panahatan Simanjuntak, 2021, Echo chambers dan Polarisasi Politik di Media Sosial (Studi Analisis : Fenomena Hashtag (#) oleh Pendukung Capres-Cawapres di Twitter dalam Kontestasi Politik Tahun 2019). Universitas Sumatera Utara, Skripsi dipublikasikan.
 
Gurevitch, M., Bennett, T., Curran, J., & Woollacott, J. (1982). Culture, Society, and the Media. London: Routledge
 
Kharisma Dhimas Syuhada, “Etika Media di Era Post-Truth,” Jurnal Komunikasi Indonesia Volume V, no. 1 (2017).
 
Merlyna, L. (2017). Freedom to hate: social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia.(Bd. 49). Taylor and Francis : Critical Asian Studies.
 
Sellita. (2022). Media Sosial dan Pemilu: Studi Kasus Pemilihan Presiden Indonesia. Jurnal Lemhannas RI, 10(3), 149-164.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun