Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - SEO Specialist

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Rombak Sistem Ekonomi untuk Menyelamatkan Bumi?

22 Juni 2024   13:37 Diperbarui: 22 Juni 2024   13:44 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 21 April setiap tahunnya, dunia memperingati Hari Bumi sebagai momen penting untuk merenungkan kekayaan alam yang dimiliki planet ini. Namun, perayaan ini juga menjadi pengingat bahwa manusia sering kali memperlakukan alam sebagai objek eksploitasi semata demi kepentingan ekonomi. Artikel ini akan mengulas pentingnya merombak sistem ekonomi saat ini untuk mengatasi krisis lingkungan yang semakin memburuk, dengan fokus pada peran kapitalisme dalam mendorong eksploitasi alam yang tidak berkelanjutan. Selain itu, kita akan membahas konsep-konsep seperti post-extractivism dan degrowth sebagai alternatif untuk membangun masyarakat yang lebih berkelanjutan.

Kerusakan Lingkungan dan Kapitalisme

Kerusakan lingkungan yang semakin parah akibat aktivitas manusia telah menjadi ancaman global yang mendesak untuk ditangani. Forum-forum internasional seringkali menawarkan solusi-solusi yang tidak menyentuh akar permasalahan, dengan industri terus berjalan seperti biasa di bawah skema bisnis yang mengabaikan dampak lingkungan. Di balik semua ini, kapitalisme---dengan dorongan utamanya untuk pertumbuhan ekonomi---sering kali menjadi biang kerok di balik eksploitasi alam yang tidak bertanggung jawab.

Menurut David Goldblatt (2013), kapitalisme memainkan peran sentral dalam merusak lingkungan karena sifatnya yang mendorong terus-menerus untuk akumulasi kekayaan dan pertumbuhan ekonomi. Pandangan ini diperkuat oleh konsep Anthony Giddens yang melihat kapitalisme dan industrialisme sebagai penyebab struktural dari kerusakan lingkungan. Di bawah sistem ini, alam sering kali dianggap sebagai sumber daya tak terbatas yang dapat dieksploitasi untuk mencapai keuntungan ekonomi, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ekosistem yang rapuh.

Extractivism dan Dampaknya di Indonesia

Indonesia, dengan kekayaan alamnya yang melimpah, sering kali mengambil pendekatan extractivism dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Extractivism adalah praktik ekonomi yang melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam untuk kepentingan ekspor, tanpa memperhitungkan nilai tambah atau dampak lingkungan yang serius. Praktik ini terlihat tidak hanya dalam sektor pertambangan dan perkebunan, tetapi juga dalam industri kehutanan dan perikanan.

Namun, extractivism tidak hanya gagal memberikan manfaat ekonomi yang merata kepada masyarakat, tetapi juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang serius. Kehilangan hutan yang cepat, degradasi lahan, dan konflik sosial antara komunitas adat dengan industri adalah beberapa contoh dampak negatif dari praktik ini. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan extractivism tidak lagi dapat dipertahankan sebagai model pembangunan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.

Kritik terhadap Paradigma Pertumbuhan Tanpa Batas

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi sering kali dianggap sebagai kunci untuk mencapai kemakmuran bagi semua. Namun, kritik terhadap paradigma ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa batas tidak sesuai dengan ketersediaan sumber daya alam yang terbatas. Konsep GDP (Gross Domestic Product) sebagai ukuran pertumbuhan ekonomi gagal mengakomodasi konsumsi sumber daya, emisi polusi, dan ketimpangan ekonomi yang semakin dalam.

Selain itu, paradigma ini juga gagal dalam mengatasi ketimpangan sosial yang semakin memburuk. Sebagai contoh, data dari World Inequality Report (2021) menunjukkan bahwa 10% dari populasi global menguasai lebih dari 50% dari total pendapatan dunia. Ketimpangan ini tidak hanya mereduksi gagasan kemakmuran menjadi sesuatu yang dinikmati oleh segelintir orang, tetapi juga menciptakan ketegangan sosial yang dapat mengancam stabilitas masyarakat.

Alternatif untuk Masa Depan yang Berkelanjutan: Post-Extractivism dan Degrowth

Di tengah kritik terhadap paradigma ekonomi yang dominan, muncul konsep-konsep seperti post-extractivism dan degrowth sebagai alternatif untuk membangun masyarakat yang lebih berkelanjutan. Post-extractivism menolak pandangan alam sebagai komoditas semata dan menyarankan pendekatan yang lebih holistik dalam memanfaatkan sumber daya alam. Konsep ini juga mengkritik distribusi kekuasaan yang tidak adil dalam pasar global, di mana populasi di sekitar sumber daya sering kali tidak mendapatkan manfaat yang layak dari eksploitasi tersebut.

Sementara itu, degrowth mengajukan pemikiran bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa batas tidak sesuai dengan ketersediaan sumber daya alam yang terbatas. Konsep ini menekankan perlunya mengurangi konsumsi yang berlebihan, mempromosikan cara hidup yang lebih sederhana dan berkelimpahan, serta memastikan keadilan dalam distribusi kekayaan dan akses terhadap sumber daya.

Transformasi Kultural dan Redefinisi Kemakmuran

Transformasi kultural dan redefinisi kemakmuran menjadi krusial dalam menjaga keberlanjutan bumi. Hal ini melibatkan perubahan tidak hanya dalam sistem ekonomi, tetapi juga dalam cara kita memandang hubungan antara manusia dan alam. Gagasan inklusivitas dan keadilan menjadi kunci dalam membangun masyarakat yang adil dan berkelanjutan.

Andre Gorz (1993) dalam karyanya "Ecology as Politics" mengemukakan bahwa modus konsumsi saat ini mendorong reproduksi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Konsumsi yang berlebihan tidak hanya mereduksi sumber daya alam yang terbatas, tetapi juga memperdalam ketimpangan ekonomi yang ada. Oleh karena itu, redefinisi kemakmuran harus memasukkan elemen-elemen keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan sebagai bagian integral dari pembangunan manusia di masa depan.

Penutup

Dalam upaya menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan yang semakin parah, diperlukan perubahan fundamental dalam cara kita memandang dan mengelola sumber daya alam. Merombak sistem ekonomi yang tidak berkelanjutan, mengadopsi konsep-konsep seperti post-extractivism dan degrowth, serta melakukan transformasi kultural untuk redefinisi kemakmuran adalah langkah-langkah yang perlu diambil secara kolektif oleh masyarakat global.

Dengan berbagai tantangan dan krisis yang dihadapi saat ini, tidak ada waktu untuk menunda tindakan. Keberlanjutan bumi dan kesejahteraan manusia di masa depan bergantung pada keputusan-keputusan yang diambil hari ini. Mari bersama-sama bergerak menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan inklusif bagi semua makhluk hidup di planet ini.

Referensi

  • Goldblatt, D. (2013). Social Theory and the Environment. John Wiley & Sons.
  • Gorz, A. (1993). Ecology as Politics. Pluto.
  • World Inequality Report (2021). Development Initiatives.
  • Acosta, A. (2016). Post-Growth and Post-Extractivism: Two Sides of the Same Cultural Transformation. Alternautas, 3(1), 50-71.
  • Demaria, F., Schneider, F., Sekulova, F., & Martinez-Alier, J. (2013). What is Degrowth? From an Activist Slogan to a Social Movement. Environmental Values, 22(2), 191--215.

Artikel ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang mendalam dan mendiskusikan solusi-solusi yang memungkinkan untuk mengatasi tantangan lingkungan yang mendesak saat ini.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun