Mohon tunggu...
Tiya Maulida Radam
Tiya Maulida Radam Mohon Tunggu... -

mahasiswi Pendidikan Matematika Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM). staf redaksi LPM Kinday UNLAM. penulis -pemula-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Bukan Mereka

4 Agustus 2011   02:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:06 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku Bukan Mereka

Oleh: Tiya Radam

“Aku senang, Dik, melihat perempuan yang feminim,“ katanya.

Aku diam, dadaku tiba-tiba terasa sesak mendengar perkataannya. Bukan hanya sekali ucapannya menyinggung perasaanku. Aku memang tidak feminim, dulunya aku tomboy. Tapi aku sudah berusaha menjadi perempuan luar dalam sejak menikah dengannya dua tahun lalu. Dijodohkan, lebih tepatnya.

***

“Insya Allah, orangnya baik, Nis. Acil kenal betul sama keluarganya. Kainya juga sahabat kai Anis,” terang Acil Salma saat itu.

Aku menolak. Ini bukan jaman Siti Nurbaya, erangku dalam hati. Lagipula aku sedang menyukai seorang laki-laki yang aku kenal di kampus. Sedangkan laki-laki yang akan dijodohkan padaku, namanya saja aku tak tahu.

“Namanya Tama, tiga tahun lebih tua dari kamu,” tambah mama.

“Bagaimana kalau Anis tidak cocok dengannya?”

“Semua keluarga besar sudah setuju dengan Tama, jadi kemungkinan besar kamu juga akan cocok dengannya”

“Tapi, Ma. Bagaimana kalau Anis tidak bisa mencintainya?”

“Cinta bisa tumbuh setelah akad nikah. Buktinya kamu ada walau mama sama papah dulu juga dijodohkan,” terang mama sambil tersenyum. Aku menelan ludah. Pahit.

Akhirnya pernikahan dilangsungkan. Walau masih belum rela seratus persen, aku menerima lamaran dari Kak Tama. Ada banyak hati yang akan aku kecewakan jika perjodohan itu gagal, biarlah aku yang mengalah daripada menyakiti keluarga besarku.

Setelah resmi menjadi suami isteri kami berusaha untuk saling mengenal. Dia bercerita tentang masa lalunya, tidak terkecuali beberapa perempuan yang pernah singgah di hatinya. Dia memang baik padaku, sebaliknya aku juga mencoba untuk mencintainya dan menjadi isteri yang baik baginya.

Namun belakangan beberapa hal menggangguku. Aku tak ingin memikirkannya. Tapi pikiran itu selalu datang padaku tanpa diminta.

Aku mencoba untuk tidak berpikir bahwa Kak Tama menikahiku sekedar memenuhi permintaan orang tuanya, lalu mencoba mencintaiku setelah ikatan itu, dan gagal. Namun semakin hari aku semakin merasa bahwa dia tidak mencintai aku. Dia tidak mencintai Anis. Dia mencintai Anis yang coba dia ubah menjadi Arum, dia menginginkan Anis yang coba dia dandani seperti Nazwa. Dia mengharapkan Anis yang coba dia kloning dari sosok perempuan-perempuan yang pernah menyentuh hatinya.

***

Di kamar aku menangis sejadi-jadinya. Kata-katanya barusan terngiang di telingaku.

“Nasi gorengnya enak, coba saja Adik bisa bikin nasi goreng seperti ini, jadi tidak usah beli,”

“Kak, aku bukan Arum yang jago masak,” bisikku dalam hati.

Aku mencintainya dan aku cemburu setiap kali dia menyinggung tentang feminim atau masakan, mengingatkanku pada mereka, perempuan-perempuan itu.

Kubekapkan wajahku di atas bantal untuk meredam isakku. Tapi bantalnya keras, tidak lembut seperti biasa. Rupanya ada sebuah benda diselipkan di bawah bantal. Sebuah kotak berisi beberapa buku resep masakan, buku how-to milikku dan selembar kertas. Kuambil kertas itu, lalu kubaca isinya.

Anis. Maaf, kakak belum bisa jadi suami yang baik. Anis tidak perlu menjadi sempurna untuk kakak, karena memiliki Anis sudah menyempurnakan hati kakak. Tidak perlu resep masakan, tidak perlu how-to be feminim itu. Kakak sudah terima Anis apa adanya. (Tama)

Ah, air mataku jatuh lagi. Aku terlalu su’udzon.

Keterangan:

Acil: Tante

Kai: Kakek

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun