Mohon tunggu...
Tiya Maulida Radam
Tiya Maulida Radam Mohon Tunggu... -

mahasiswi Pendidikan Matematika Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM). staf redaksi LPM Kinday UNLAM. penulis -pemula-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Luka di Bawah Hujan

1 Agustus 2011   04:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:12 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kuletakkan gelas berisi teh itu sembarang saja di atas meja. Kusimpuhkan badan di samping Uma yang berbaring dengan tenang. Kupandang wajah keriputnya. Ya Allah, air mataku kembali mengucur dengan derasnya. Wajah pucat itu, badan ringkih itu dan pedih yang Ia rasa semakin menambah sesak dadaku. Andai saja aku bisa mengobati lukanya….

Inginkah kau tahu mengapa Umaku seperti itu?

Aku masih berumur 7 tahun saat rangkaian cerita itu dimulai. Di pagi hari yang dingin di musim hujan tahun 1986, aku masih terlelap saat suara ribut memaksaku untuk terbangun. Kulihat sekeliling kamar, Abah dan Uma tak ada.

Banyu! Banyu! Banyu!”

Samar-samar telinga kecilku mendengar teriakan dari luar rumah. Yang aku ingat ketika aku ingin keluar, Uma dan Nini masuk ke kamar dengan tergesa-gesa dan membawaku naik ke atas loteng. Di sela teriakan banyu, kudengar suara gemuruh entah dari mana. Aku yang tak mengerti berdiam saja dibawa Uma naik ke atas. Suara gemuruh semakin hebat. Ku kira itu suara guntur, tapi dari balik jendela aku lihat langit masih terang.

Tiba-tiba aku merasa lantai yang kami pijak sedikit bergetar disusul suara gemuruh yang begitu nyaring. Uma mendekapku dengan erat sampai gemuruh dan getaran itu mereda beberapa menit kemudian. Uma menatapku yang gemetar karena ketakutan. Kami berjalan menuju dinding, menjulurkan kepala merapat ke kaca jendela yang tertutup.

Raunganku semakin keras melihat pemandangan di bawah. Pohon Rambutan di halaman rumah kami hanya setengahnya yang tampak di permukaan, beberapa motor hanyut, dan yang paling mengerikan aku melihat sebuah kepala manusia menyembul di sela ranting pohon Mangga di depan rumah. Buru-buru kubekapkan muka ke pelukan Uma, isakku teredam.

“Astaghfirullah, banjir bandang,” gumam Nini.

Rumah kami tak apa, harta benda kami masih utuh meski kini terbalut oleh lumpur yang terbawa oleh air. Tapi berita yang dibawa oleh Amang Amat beberapa jam setelah itu adalah inti dari kisahku ini.

“Maaf, Ma,” katanya sambil menatap wajah Uma dengan takut-takut, ”Abah sama Utuh sudah kami temukan di pahumaan—”

Suaranya seperti tersendat di tenggorokan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun