--Untuk saya, juga barangkali, Indonesia
Setiap selesai membaca riwayat hidup seorang tokoh bangsa berpengaruh, semisal mereka yang tangguh, berdiri di atas podium dengan leher berurat teriak: "Merdeka!" atau mereka yang gigih memperjuangkan kemerdekaan lewat tajamnya goresan tinta, boleh saya bilang, mereka adalah individu-individu yang lahir serta tumbuh-kembang dari kemudahan.
Maksudnya, dengan latar belakang keluarga yang punya reputasi tinggi: dari kalangan ningrat, kiai atau ulama besar, pejabat pemerintah, saudagar sampai tokoh adat masyarakat setempat, maka sesungguhnya, mereka telah selesai dengan dirinya sendiri. Setidaknya, persoalan hidupnya jadi bukan lagi tentang esok saya akan makan apa, tetapi tuntutannya jauh melampaui kepentingan dirinya semata: besok tanah air saya akan seperti apa.
Dan di masa-masa itu, dialektika semacam itu baru muncul berkat mudahnya akses pendidikan bagi mereka yang memang bukan-rakyat-biasa itu. Ya... beruntung sekali mereka. Lalu, sambil menutup buku autobiografi itu, saya kian bertanya-tanya dalam hati: "Adakah dari sekian nama-nama besar yang menghiasi halaman utama sejarah Indonesia lahir bukan dari latar belakang kemapanan?"
Saya cukup pesimistis, nampaknya. Sebab Thomas Carlyle (esais Skotlandia, 1795-1881) pernah mengatakan: "Sejarah itu kumpulan biografi nama-nama besar," dan saya coba tambahkan sedikit: "...yang terlahir dari nasab yang jelas lagi baik serta terpandang." Hingga saya tak bisa selamanya naif dengan menggebu-gebu memotivasi diri sembari menatap sederet figur Pahlawan Nasional yang bertengger menjadi ornamen tiap kota dan berkata: "Kamu harus seperti mereka," dibarengi sebaris kata-kata klise: "Tempatkan cita-citamu setinggi langit..."
Memang, tanah air kita sudah merdeka dan negara mengambil peran dominan agar setiap anak bangsa, siapa pun itu tanpa terkecuali, dapat menikmati pendidikan. Tetapi saya kira, kita lupa sesuatu yang sudah ajek, yang dianalogikan Ron Daniels (direktur Center for Constitutional Rights di New York, Amerika Serikat) dengan "dua pelari dalam sebuah lomba: yang satu memulai pertandingan dari garis start, sementara yang lain memulainya hanya beberapa meter dari garis finis." Jika demikian, bukankah berarti saya mesti berlari lebih kencang, sebab tak lahir dari garis keturunan orang-orang terkemuka?
Berabad-abad lamanya, sejak dulu, apa yang ajek itu tak bisa diubah. Selalu ada "dua pelari yang tak memulai dari satu garis start yang sama" itu. Indonesia paska diberlakukannya Politik Etis sejak tahun 1900, misalnya. Mereka yang priayi (artinya bukan semua Bumiputra) bolehlah mendapatkan pendidikan formal Belanda. Sutan Sjahrir yang disekolahkan di ELS, sekolah dasar berbahasa Belanda, karena ayahnya seorang jaksa. Saat di Padang, berkat usaha pamannya, seorang ulama besar, Hatta mengenyam pendidikan di sekolah Belanda pertama lalu lanjut ke MULO.Â
Bagaimana dengan Sukarno? Meski masa kecilnya sempat hidup susah, dalam biografinya, ia tetap dengan fasih menceritakan bagaimana darahnya ialah keturunan para pahlawan. Dari garis sang ibu yang merupakan kemenakan Raja Singaraja terakhir, pantang mundur dalam Perang Puputan di Bali dengan Belanda.Â
Sedang heroisme dari nasab sang ayah yang setia menemani Pangeran Diponegoro saat Perang Jawa. "Aku mewarisinya... dilahirkan dalam lingkungan kelas yang berkuasa," ucap Bung Karno. Atas dasar itu, Sukarno pun diterima di ELS. "Kau masuk dengan hak istimewa," jelas sang bapak. Yang menjadi spesial, dari kantung-kantung pendidikan itu, ketika ilmu didapat, justru rasa kemanusiaan mereka kian menebal.
Tak sudi melihat sebagian besar pribumi yang papa, mereka itu, para elite itu jadi hebat karena pilihannya untuk berani menanggalkan status, juga meninggalkan ritus sehari-harinya yang nyaman. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (pernah belajar di STOVIA) mengganti namanya jadi Ki Hajar Dewantoro. Baginya, namanya itu teramat kental sebagai seorang bangsawan. Belakangan, hal tersebut diikuti para tokoh lain yang punya darah biru seperti Njoto. Putra seorang saudagar batik tulis dan jamu itu risih membubuhi awalan "Soe" untuk namanya karena awalan itu biasanya dipakai seorang priayi.
Boleh jadi, baik Njoto atau Soewardi, lewat namanya itu jadi semacam ada sekat antara diri mereka dan rakyat. Harus ada perasaan senasib sepenanggungan pada orang-orang yang tak seberuntung diri mereka.