Dari,
Aku
Teruntuk,
Kita
Akhir tahun 2015. Ku akhiri dengan awalan apologia: sehimpun maaf, meski tanpa penyesalan. Hal yang lebih aku inginkan ketimbang harapkan tersampaikan saban tahunnya, sebagai ikhtiarku akan polah pongahku yang meminjam Soe Hok Gie dengan “menjiwai masa-masa muda dengan semangat muda”. Menjadi maha-siswa merupakan salah bagian dari masa muda itu. Tak ayal, hampir seluruh tumbu maha-siswaku terisi, meski anggapanku saja, oleh gairah “lantangkan ide-ide berbahayamu” yang menukil Alejo Carpentier.
Gairah yang ku temui justru separuhnya bukan dalam diktat yang diberi resmi di dalam ruang kelas, tapi yang dicari di luar ruang kelas, bahkan terkadang gairah itu ada dalam penyajian literer non-ilmiah, seperti L’Homme Revolte (yang diterjemah ulang dalam bahasa Indonesia, Pemberontak dari terjemahan Inggris, The Rebel tahun 2015) karya Albert Camus yang popular dengan adagiumnya: “aku berontak, maka kita ada”.
Tapi tak salah memang Goenawan Mohamad menyebut karya Camus itu sebagai “risalah yang terlampau tebal paginanya dan terlampau tipis inspirasinya”. Nyatanya memang tak jauh dari itu. Gairah yang juga tampil dalam cerita-cerita fiksi karya Maxim Gorky dalam novel Zizhn Nenuznogo Cheloveka (yang diterjemah ulang dalam bahasa Indonesia, Pecundang dari terjemahan Inggris, The Life of A Useless Man tahun 2015) yang berlatar pra-Revolusi Bolshevik di Uni Soviet tahun 1917, yang berkisah seorang “Anak Yatim atau juga dipanggil Pak Tua” yang sedang hidup sampai matinya selalu “sendirian”, yang dalam konteks tertentu, setidaknya bagiku, meminjam istilah Emha Ainun Nadjib dengan nyawiji.
Anak Yatim itu nyawiji. Novel yang belum habis ku baca ini salah bagian dari cerita fiksi lain yang mencemooh struktur juga kultur sosial politik pada masanya. Gairah yang timbul dan ada dalam tiap warna tema -kekiri atau kekanan- juga ragam bentuk karya sastra, yang buatku keranjingan dan timbulkan ide-ide, yang oleh Rizal Mallarangeng dalam kata pengantar kumpulan esainya, Dari Langit mengutip George F. Will bahwa “ide-ide datang seperti buah anggur, berkelompok dan berderetan dalam tangkai yang sama”.
Hanya saja, aku belum menentukan tangkai yang layak untuk buah anggurku. Pemakluman galib bagi maha-siswa sepertiku yang ter-ia-kan oleh Ahmad Wahib yang menyebut diri: “memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikan”.
Memang “dahaga” itu yang juga buatku berujar tak henti-henti: apa lagi..apa lagi..apa lagi yang ia sajikan.
Hal ini semakin nadir ketika jemu dengan diskusi, lantas aksi dengan ragam bentuk kaya isi tanpa tendensi kafir mengkafirkan diri.