‘Belajar menjadi benar-benar seorang wonder woman…(nama).. don’t cry!! (A, mahasiswi). “ Oh smoga dosenku amnesia sesaat, soalna lum bikin makalah yang ditugaskan” (B, mahasiswi). “Pimpinan KPK baru smoga seperti yang diinginkan rakyat..usut tuntas pencuri uang negara..”Buru Koruptor” (C, pria). “thanks God, You are the love of my life” (D, ibu muda). “Mbukak BOTOX, tak kiro mlandingan ro teri, bul …LEMAK ** (nglombyor.com) (E, pria dewasa).
Pernyataan2 ini saya ambil dan kutip, hanya sebagian kecil dari jejaring sosial yang paling banyak digunakan oleh orang2 se jagad, yaitu Face Book. Facebook dan sejenisnya dikategorikan jejaring sosial, sementara jejaring sosial termasuk di dalam media sosial.
Apapun itu, sebagai pengguna aktif jejaring sosial, saya lebih senang mencermati isi (content) dari dinding (wall) individu, terutama wall teman-teman saya, yang sekarang baru mencapai 500 (semula saya memiliki akun yang sudah terdapat pertemanan sebanyak 1600 an teman, namun sayang, 3 bulan yang lampau ke- hack, dan saya membuat lagi yang baru).
Teman-teman di dunia maya saya sangat beragam, dari Dirjen, Pangdam (he..he… karena beliau adalah teman sekolah saya), direktur, manager, seniman, penulis, guru, mahasiswa (jelas, karena saya mengajar di PT), teman2 komunitas tertentu, sampai anak-anak usia SD (kebanyakan keponakan atau anak-anak teman).
Dari berbagai ilustrasi status di atas, sampai saat ini saya jadi memiliki beberapa pandangan dengan sedikit meminjam konsep2 dari ilmu tertentu yang saya baca. Status yang bisa ditulis oleh siapa saja dan kapan saja waktunya, adalah merupakan ekspresi diri si penulis status. Setelah status terbaca oleh dirinya maupun oleh orang lain, dari situ bisa muncul persepsi tentang diri penulis status. Masalah persepsi ini sungguh2 harus dipahami bahwa pasti ada perbedaan individu (individual difference) diantara si penulis dan pembaca status: jika meminjam konsep komunikasi, ya antara si komunikator dengan komunikannya, matching tidak pesan yang disampaikan. Inilah yang biasanya menjadi sumber keladi eh biang keladi dari pergesekan, persinggungan, percerai-beraian. Seperti yang baru saja terjadi di Jakarta, sekelompok remaja sekolah A menyerang kelompok remaja sekolah B, dan terdapat korban tewas, 1 orang, sebagai akibat ‘perang status’ di Face Book.
Tidak bijak menurut saya jika menyalahkan FB atau media sosial, karena media hanyalah alat atau sarana. Pengendali (saya lebih suka menggunakan istilah pengelola) nya adalah individu manusia sendiri. Mau dijadikan maslahat atau mudarat (baik atau buruk) sangat tergantung pada individunya.
Jadi, jejaring sosial merupakan sebuah sarana untuk mengekspresikan diri, disadari atau tidak disadari; disengaja atau tidak disengaja. Sementara dari ranah konsep perkembangan manusia, diri adalah inti (core) dari eksistensi manusia. Namun mungkin ada beda, antara diri di dunia nyata (kehidupan sehari-hari) dengan diri di dunia maya. Diri dunia nyata dapat di amati, diri dunia maya, tidak dapat di amati (bisa di amati, tapi yo maya itu…). Ada sih, dalam konsep, diri riil vs diri ideal. Diri riil jelas, adalah diri yang ada di dunia nyata, sedang diri ideal, adalah diri seperti apa yang kita harapkan atau kuatirkan mengenai kemungkinan diri. Diri ideal ini bisa jadi kita samakan dengan diri seseorang di dunia maya. Bisa jadi diri riil dan diri ideal sama atau mirip, bisa jadi agak dilebihkan, atau malah ekstrim berkebalikan.
Maka di FB, ketika ada yang add dengan nama “ ……Sleman Sembada”… Oh, ini pasti seseorang dari Sleman; atau nama “……..Charlie van Houten”…lho, masih saudaranya anggota boy-band itu atau penggemarnya. Ada juga yang menggunakan nama seperti ini, ‘dhenok-dueblenk ayoe loro bronto’; haduuh, ini mesti masih remaja belum 18 tahun, soalnya dalam membuat nama masih mencari-cari (identitas memang belum terbentuk di usia sebelum 18 tahun). Menjadi wajar jika nama yang aneh2 terdengar (apalagi oleh generasi tua), di buat oleh mereka yang masih remaja dan muda. Namun jika ada yang sudah berumur, masih menggunakan nama yang aneh2, ya.. seperti iklan rokok saja bisa dibilang,.. menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa adalah sebuah pilihan…
Contoh lain, tentang diri ideal atau diri di dunia maya ini, jika dalam dunia maya seseorang ‘memalsukan’ dirinya, ini adalah tanda-tanda bahwa diri idealnya menginginkan dia tidak menjadi seperti diri yang riil. Jadi, misalnya memajang foto yang bukan fotonya, menuliskan status pekerjaan, perkawinan, pendidikan tidak sesuai dengan kondisi aslinya. Biasanya yang ditampilkan serba ideal, sebenarnya hal ini ‘aman-aman saja’, namun menjadi bisa dikategorikan salah dan destruktif, jika itu semua digunakan untuk cari keuntungan (ngelaba, ngadalin, menipu, mengancam sampai dengan tindak kekerasan) terhadap orang lain. Kalau memajang foto sendiri dengan berbagai pose dan angle, yang menjadikan lebih indah dari aslinya, menurut saya sih tidak apa2, perlulah kita memajang diri dalam pose terbaik.
Tentang diri ini, menurut seorang Fittz (ahli psikologi, tentang konsep diri), setidaknya terdiri dari 6 sub dimensi : diri fisik (physical-self); diri moral-etik (moral ethical self); diri personal/pribadi (personal self); diri keluarga (family self); dan diri sosial (social self); diri akademik/kerja (academic/work self). Nah, kalau punya teman suka mengunggah foto2 terutama foto diri, bisa jadi dia lebih cenderung memiliki orientasi diri-fisik. Ada istilah narsis, narcicism, dalam arti sesungguhnya adalah pemujaan seseorang pada diri sendiri, maka memang untuk mengatakan seseorang narsis atau tidak, perlulah kita mengenali dulu siapa orang yang kita duga mengidap seperti itu, namun jika hanya untuk pengungkapan sebagai sapaan hangat, gak apa2 kiranya; kalau ada yang suka mengunggah tentang prestasi terutama prestasi yang berkaitan dengan akademik atau pekerjaannya, ya kategorinya berorientasi diri akademik-kerja. Jika suka mengunggah dan bercerita tentang keluarganya, termasuk berorientasi diri-keluarga. Kalo suka mengunggah ayat-ayat dari Kitab Suci, tentu orientasinya adalah diri moral-etik (ha..saya punya banyak pertemanan dengan romo/pastur, ustad dan pendeta yang banyak mencuplik dari Kitab Suci masing2). Demikian pula dengan diri sosial dan diri personal, kalau suka menceriterakan hubungannya dengan teman2 yang lain, maka termasuk berorientasi diri sosial.
Tentang ekspresi diri, banyak menyangkut aspek emosi (afeksi). Nah yang muncul di jejaring sosial ya emosi ini tapi emosi maya dan bentuknya kata2, kalimat dan gambar. Emosi adalah pengalaman perasaan (afektif) yang melibatkan komponen respon tubuh, sistem saraf, ekspresi wajah, keyakinan pikiran bahwa telah terjadi keadaan negatif atau positif. Jadi, misalnya, cinta, hal ini mengandung : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti hormat, kasmaran, kasih. Sedangkan amarah misalnya, mengandung : beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan dan kebencian patologis.
Kalau di dunia maya, seseorang mengekspresikan kemarahannya, namun sasaran yang dituju tidak jelas, tentu tidak akan sampai ‘menyentuh’ sasaran. Demikian pula jika seseorang mengekspresikan cinta, dengan mencolek tanda like-jempol, mengekspresikan dalam kalimat puitis-mendayu dstnya. Bagi saya, emosi yang muncul dari si pembaca status atau respon yang timbul adalah emosi maya, karena si pembaca status tidak berhadapan langsung dengan yang menulis status. Si pembaca berhubungan dengan ‘layar-dingin-panas’ selulernya, lap top, komputer. Bahaya atau tidak, dalam hal ini sekali lagi memang tergantung pada pengguna, dibutuhkan kematangan (maturitas) mencerna isi dinding yang dimiliki maupun dinding orang lain. Kalau dikirimi kalimat bernada rayuan, persuasif, trus tertarik, diajak mu-rat (temu darat), diajak bla3… mau, ya menjadi resiko penumpang sendiri; tidak perlu menyalahkan orang lain.
Kalau menyangkut kepribadian, paling tidak, ada orang2 yang dikategorikan extroversion (energik, antusias), contoh, orang yang mengunggah status selalu bernada gembira, riang. Namun sebaliknya ada yang suka mengunggah status melow, penuh kesedihan, mendayu terus menerus; agreeableness (suka kerjasama dan bergaul), contoh orang yang menerima pertemanan dengan siapa saja, sebaliknya yang memilih-milih teman bisa jadi dikategorikan sebaliknya; conscientiousness (kontrol diri kuat), kalau terlalu kuat kontrol dirinya bisa jadi pribadi yang ja-im, sebaliknya bisa jadi sebuah pribadi yang easy-going; neuroticism (punya emosi negatif), mungkin orang2 seperti ini suka merespon status dengan nada sinical, satiris, kecut2 asem gitu, tapi juga ada jenis kepribadian yang lain, yang suka memuji namun berlebihan, manis2 hampir busuk (ha.. ini istilah saya sendiri) dan ada yang sebaliknya merespon dengan stabil; opennes to experience (terbuka), orang2 dengan kerpibadian ini muncul di jejaring sosial dengan wall terbuka untuk semua pihak, sebaliknya orang2 yang tertutup adalah yang memprivasi wallnya, hanya orang2 yang berteman dengannya saja yang bisa lihat (yo uwis..). Kategori masing2 kepribadian ini juga merentang dari sisi kanan ke kiri, jadi ekstro-intro misalnya, dstnya.
Dunia maya mungkin merupakan dunia tersendiri, yang mau tak mau harus diakui keberadaannya saat ini, maka meminjam kepribadian2 dari dunia nyata, kiranya dapat ditemukan juga tipe orang2 di dunia maya yang seperti itu. Cermati saja, cobalah mengenali diri sendiri dari isi dinding2 kita, terus dinding teman2 yang lain, baru bisa kita simpulkan, o..o.. dia itu bertipe begini, jadi saya perlu memperlakukan dia dengan cara seperti ini, wah kalau sudah tahu tekniknya, ‘pergaulan’ di dunia apapun menjadi mengasyikkan, karena kita paham tentang diri sendiri dan orang lain. Pasalnya, ada contoh, seseorang (A), berkomentar tentang status temannya (B), ketika ganti di respon komen, eh si A, langsung off, atau bahkan mematikan hubungannya di dunia maya. Lha ini kan bikin bingung teman2nya.
Jadi, jika mau menggunakan jejaring sosial sebagai sarana pertemanan, dibutuhkan tingkat kematangan pribadi yang cukup dari pengguna, termasuk juga menghindari kondisi ‘FB addictive atau social networking addictive’ (kecanduan jejaring sosial); dalam hal kecanduan, dibutuhkan kemampuan membuat skala prioritas aktivitas. Ada kutipan unik dari seorang anak yang masih siswa, “waduh dah seminggu gak buka FB, gara2 UAS”…lhooo gitu ya. Inilah gen-dig (generasi digital), hidupnya sangat tergantung pada teknologi digital. Namun barangkali dari sisi terapi diri, jejaring dan media sosial juga mengandung kebaikan, pengguna dengan mudah dan leluasa dapat mengekspresikan apa saja yang muncul dari pikiran, perasaannya. Dalam terapi hal ini disebut katarsis (pengurasan isi/uneg-uneg), dan ini dapat meringankan beban yang di sangga masing2 individu sehari-harinya. Jika demikian, bisa jadi ada yang resah, ruang2 konsultasi untuk pelayanan problema diri menjadi kosong, sudah terungkapkan di ruang2 maya tanpa batas, dan banyak mendapat sugesti, nasehat dari sekian banyak orang. Nah, tinggallah para konsultan macam saya bengong, menyibukkan diri membuat status-status yang kiranya bisa mengundang komen dan jempol yang banyaak. Hm….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H