Keponakan saya, waktu itu masih usia SD kelas 6, menulis di status FB nya : ...waduh sudah seminggu gak buka FB, gara2 UAS.... Keponakan yang lain, masih SMP menulis : ..sakarepmu wae lah (sesukamu aja lah)....EGP...preeettt..... Sebagai bude (uwak) dari keponakan2, saya tercenung membacanya. Anak2 ini menggunakan media sosial untuk mengekspresikan dan mengungkapkan pikiran2 dan perasaannya.Inilah Gen Dig (Generasi Digital), yang sedang bertumbuh di jaman serba digital ini.
Gen Dig atau disebut juga generasi Z (sumber : tayangan p. Harry Santoso) memiliki ciri-ciri lahir sekitar tahun 2000 an, dikenal dengan Net Generation (generasi Net), sungguh-sungguh lahir di dunia Post-Modern, sangat connecteddengan teknologi media. Generasi sebelumnya adalah generasi Y (lahir tahun 1981-2000), yang berciri milenial, generasi on line. Sebelumnya lagi ada generasi X (lahir tahun 1965-1980), dan sebelumnya lagi generasi babby boomer (1945-1964). Perbedaan diantara generasi2 tersebut banyak, dan masing2 memiliki ciri khas.
Konon, menurut konsep perkembangan, anak2 itu tumbuh dan berkembang, terutama di usia2 awal dengan imitasi (peniruan). Lalu yang ditiru siapa? Ya pertama-tama kedua ortu, orang2 yang lebih dewasa di sekitar anak, lalu kalau sekarang ya meniru dari media. Blaiiss kalo gitu...Lha medianya gimana?Isi tayangannya? Siapa di dalam media dsbnya?. Kalo satu dekade lalu, media masih bersifat sepihak (one-directional), kalo dekade ini, sudah interaktif, dwi-tri-multi pihak (multi directional), dapat menyentuh seseorang secara personal, terlebih di media sosial.
Jika demikian, gimana peran ayah, ibu, keluarga pada anak2 mereka dalam hal media sosial ini. Terutama peran ibu...(lho koq ibuk terus to yang di target). Peran ibu yang standar dan normatif ya tetep, namun perlu ditambah dengan pengetahuan dan penghayatan tentang media sosial ini. Sebelum memberi perintah-larangan maupun ajakan-bujukan, ya sebaiknya mendalami dulu soal2 tentang perkembangan anak dan media sosial.
Mungkin baik kita cermatipandangan ahli perkembangan (Barat), tentang individu dan individu dengan media. Pak Piaget, mengenalkan proses berpikir manusia melewati 4 tahap, dari sensori motorik, pra operasional, operasional kongkrit dan operasional abstrak. Tahap sensori motorik (usia 0-2 tahun), tahap dimana bayi tumbuh dan berkembang sensori motoriknya. Anak baru mampu mengenali dirinya sendiri, berpikir juga masih seputar dirinya. Tahap pra operasional (2-6 th) anak2 mulai mengenali dirinya (self) dan orang lain (terutama ortunya). Di jaman ini, karena media informasi sudah ‘luber’, banyak ortu yang sudah mengenalkan dengan ‘layar2 komputer, lepi, notebook’. Tidak apa-apa juga, asalkan ortu bisa memilihkan jenis materi yang sesuai dengan perkembangan.Di masa ini pula, anak mulai mengembangkan kemampuan mengimitasi lingkungan. Pak Albert Bandura, seorang ahli psikologi sosial, membuat eksperimen dengan anak2 dan tayangan yang di tontonnya. Ada 2 kelompok anak, 1 kelompok anak (A) diperlihatkan tayangan tentang anak dan bonekanya, kelompok anak yang lain (B) demikian pula, yang membedakan, tayangan di kelompok A, dipertontonkan anak2 yang menganiaya bonekanya, sedang tayangan di kelompok B, diperlihatkan anak yang menyayangi bonekanya. Hasilnya dapat diduga, anak2 yang diberi tayangan yang mengandung kekerasan, setelah itu juga melakukan kekerasan di dunia nyata dan sebaliknya. Debattentang tayangan apakah berpengaruh di dunia nyata, menjadi diskursus yang tiada habis, diantara ahli2.
Di tahap operasional kongkrit, di usia SD (6-11 tahun), anak2 berkembang cara berfikir yang kongkrit, misal, semestinya anak2 SD kelas 1-3, belum perlu diajari matematika, tapi berhitung (aritmatika). Coba saja anak SD kelas 1 ditanya tentang 2 x 2, mesti masih bingung, tapi anak itu diberi uang Rp. 5000,-, diminta jajan di warung, dan ditanya kembaliannya berapa, pasti bisa, karena dia memegang uangnya (kongkrit). Di usia2 ini media komputer, lepi, notebook bisa digunakan untuk menjelaskan materi pada anak. Tahap operasional abstrak (usia 11 tahun ke atas), anak2 mulai mampu berpikir secara abstrak, naah di saat inilah cucok diajarkan yang abstrak alias di luar kongkrit, misalnya, anak-anak mulai dikenalkan dengan media sosial yang sifatnya interaktif, membuat email, membuat akun di media sosial dengan bimbingan orang tua.
Terkait dengan media sosial, simak saja yang ditulis keponakan2 saya di atas, usia kisaran 11-14 tahun, masih belum seimbang, belum bisa membedakan mana yang utama dan mana yang sekunder, ibarat kapal berlayar, ya goncangannya masih keras, sementara kapalnya masih rapuh, belum kuat, jadi berjalan ya masih goyang2. Peristiwa2 nyata, dimana ada anak2 maupun remaja awal yang ‘bermain di media sosial’, lantas dibujuk bertemu di dunia nyata, dan diperlakukan buruk (pelecehan, pemaksaan, pemerkosaan) adalah contoh masih belum berkembangnya operasional abstrak pada anak. Anak2 dan remaja awal, belum cukup mampu membedakan antara dunia nyata-riil dengan dunia maya. Bujuk rayu orang dewasa sebagai the devil di dunia maya, diterima anak-remaja sebagai pujian atau reward,sehingga mereka mau, padahal cara berpikirnya belum mampu menjangkau yang maya.
Jika demikian, peran ibu dan ayah (ibu disebut pertama, karena hubungan terdekat paling awal, adalah antara ibu dan anak, dibanding ayah dan anak) sungguhlah penting dalam mendampingi putra-putrinya di tahap manapun. Jangan lengah dan lalai jika menyangkut anak, karena anak adalah sumber kegembiraan yang tiada putus bagi ortunya.
Tips bagi ortu dalam mendampingi anak2 dalam kaitan dengan media sosial
a) Jangan jadikan alat2 teknologi informasi sebagai electronic babby sitter (maksudnya, jangan jadikan benda2 elektronik sebagai pengasuh bayi atau anak). Bisa jadi disini ada interaksi, tapi dibatasi dengan layar, jadi sentuhannya terlalu dingin atau terlalu panas, yang bereaksi ya hanya sepihak.
b) Sedari kecil (mulai usia 2,5 tahun), anak sudah mulai dikenalkan dan ditanamkan pengertian tentang norma (kesopanan, hukum, moral, agama) dan nilai2 yang diinginkan orang tua terhadap anak, hal ini harus terus menerus di tuturkan (di sosialisasikan) pada anak. Juga dibarengi dengan penanaman disiplin yang fleksibel, menyesuaikan dengan kepribadian anak.
c) Melatih anak agar mampu membuat skala prioritas aktivitasnya, yang utama/primer dan yang sekunder, tertier dstnya, dengan membuat neraca kesetimbangan atau jadwal yang teratur.
d)Saat anak sudah tiba waktunya bersentuhan dengan media sosial, ortu jangan segan-segan untuk mendampingi mereka, karena mereka sangat membutuhkan.
e)Mengajari anak untuk mampu memilih tayangan atau kanal-kanal yang dibutuhkan anak dan notabene cocok dengan usianya (sesuaikan dengan masa peka anak)
f)Â Tayangan atau kanal-kanal yang baik ditonton atau ditelusuri, dapat menjadikan kondisi psikologis anak dan remaja sehat, yang berguna untuk berproses di tahap selanjutnya (masa dewasa)
g)Dalam berinteraksi di media sosial, tularkanlah pada anak, energi dan aura positif agar anak juga bersemangat meniru ortunya.
h)Jadikanlah media sosial sebagai tempat/wahana/medan untuk membangun atau mengkonstruksi jalinan cinta, sayang, keeratan (intimasi) diantara seluruh anggota keluarga
Mudah2 an dengan semangat yang positif dan penuh cinta dalammendampingi anak2 nya, para ortu baik ibu dan ayah, dapat menjadi fasilitator terbaik di dunia agar anak2 berkembang secara optimal dalam berbagai aspek.
Ehm...selamat Hari Ibu ya..
Yogya, 151212
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H