Mohon tunggu...
Pratiwi Wahyu Widiarti
Pratiwi Wahyu Widiarti Mohon Tunggu... Pengajar PT -

perempuan : menulis, membaca, nyanyi, riset. ..kesetiaan adalah salah satu ciri kualitas hidup yang harus di hidup-hidupi; terutama kesetiaan pada Tuhan dan kekasih jiwa..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru-Guru..Ayo Silakan Dongkrak Pede Anda...

7 Januari 2012   16:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:12 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_154064" align="alignnone" width="1600" caption="bu guru widi, sedang mengajar, sedang menempuh S3 di PT juga.."][/caption] Membaca berita di daerah Jatim, ada puluhan guru mendemo sebuah PT penyelenggara sertifikasi guru yang ditunjuk Pemerintah. Pasalnya adalah para guru tidak puas dengan hasil pengumuman sertifikasi, mereka dinyatakan tidak lulus, dan merasa ketidak lulusan mereka disebabkan oleh 'ketidak beresan' panitia dalam melakukan evaluasi. Disodorkan fakta-fakta, bahwa ada banyak persoalan, misal, ada guru yang bolong2 kehadirannya dalam proses sertifikasi, yang disebut PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru), malah lulus, dibanding mereka yang aktif masuk. Ada guru yang sudah tercatat wafat, malah mendapat nilai. PT tempat saya bernaung ditunjuk juga sebagai penyelenggara sertifikasi guru oleh KemdikBud.  Persoalan guru2 tidak lulus proses sertifikasi, juga banyak ditanyakan, yang kebetulan saya ditunjuk sebagai instruktur dalam PLPG di daerah saya. PLPG sekarang di format dalam bentuk workshop, jadi guru2 diberi pendalaman materi mata pelajaran, juga tentang strategi belajar mengajar, pembuatan media, evaluasi serta micro teaching, untuk selanjutnya dilaksanakan utul. Dari sinilah, saya akan memulai. Sebagai orang yang suka mengamati, maka saya menemukan di lapangan (PLPG), berbagai hal yang menarik untuk diungkap, tentu saja tentang para guru yang mengikuti sertifikasi ini. Beberapa hal yang saya tangkap dari pengamatan selama lebih kurang 10 hari, tentu tidak bisa digeneralisir begitu saja, mengingat subjek sampelnya tidak memadai untuk generalisasi. Namun setidaknya ada catatan2 yang bisa disimak. 1) Dari segi peserta. Peserta workshop bervariasi, maksudnya dari segi usia dan lama mengajar di sekolah. Ada yang 23 tahun mengajar, ada yang 10 tahun, dan ada juga yang baru 6 tahun. Jadi bisa dibayangkan, lama mengajar dengan variasi umur kronologis para guru. Ada yang sudah mau pensiun, ada yang masih 'kinyis2' (baru). Raw input (peserta workshop) yang bervariasi ini, juga mengakibatkan penerimaan materi bisa berbeda2. Seperti kelas2 dalam kurve normal, sedikit yang lambat menerima, sedikit yang lebih cepat menerima materi, dan yang terbanyak adalah rata2. Syarat untuk mengikuti PLPG, guru harus sudah ber ijazah S1, dan guru akan dikelompokkan sesuai dengan mata ajarnya di sekolah. Repotnya adalah, di Indonesia ini antara jurusan yang diambil di PT dulu dengan pekerjaan yang diampu suka tidak link n match. Sebagai contoh, mapel PKN, semestinya baik jika diampu oleh S1 Kependidikan PKN, pasalnya, akar ilmu PKN ada 3, filsafat moral, Hukum dan Politik. Na tidak link n matchnya baru ketahuan saat workshop ini, ada yang lulusan sejarah, lulusan bahasa Indonesia ngajar PKN, ini masih mendingan, ada yang lulusan ekonomi ngajar PKN juga. 2) Penguasaan materi. Teman saya yang ahli dalam PBM (Proses Belajar Mengajar) mengatakan, penguasaan materi adalah syarat mutlak bagi guru atau pengajar untuk 'naik panggung' di kelas, ibarat penyanyi, harus hapal syairnya jika mau 'nglenggeng' di atas pentas. Bener juga, bayangkan jika gurunya au..au..au melulu, menggunakan kata sela yang berlebihan, sebentar2 lihat buku pegangan, sampe kucel bukunya (nah sekarang ada alat bantu berupa teknologi bentuk audio-visual). Dalam workshop ini, jika guru berasal dari bidang keilmuan yang sama dengan mapel yang dipegang, ya tidak begitu masalah. Pasalnya seperti di item no 1, banyak yang berasal dari luar keilmuan, jadi sepanjang pendalaman materi, banyak bertanya, tapii, bertanyanya yang mendasar banget.. walah.. lha instrukturnya yang dituntut jadi tor-tor (fasilitator, mediator, inisiator) ya runyam sendiri. Masak mau mengulang materi seperti mengajar mahasiswa awal semester. Sebagian guru nampak 'lazy' untuk memperbarui ilmunya, jadi sudah puas dengan ilmu yang diperoleh saat kuliah S1 duluu, padahal dunia dan sertaannya, termasuk ilmu pengetahuan, berkembang melesat. Mereka yang puas diri dengan ilmu2 jadulnya, ya akan 'keponthal-ponthal' (kesulitan) mempelajari ilmu yang terus bertambah saat ini. Syarat untuk memperoleh ilmu yang baru, salah satunya adalah dengan membaca, syukur dibarengi dengan menulis (2 R : Reading-Writing). 2 R ini berkait dengan literasi, saya mencatat, kita ini dikatakan dulu sebelum ada media visual merebak, masih termasuk penganut kultur lesan, maka harus dituntun menuju kultur literasi, belum sempat cita2 tercapai, sudah ter 'tembak' kultur visual, lha...semakin tenggelamlah kultur literasi itu. Apes..Guru semestinya menjadi garda depan penuntun kultur literasi ini bagi siswa nya. Apa yang terjadi di lapangan? dengan sedih dapat dikatakan, guru tidak banyak  melakukan 2 R, sehingga asupan yang diberikan ke siswa ya, itu2 saja, paling banter yang sesuai LKS (Lembar Kerja Siswa) 3) Gaya mengajar. Ini salah satu aspek penting yang akan berkontribusi dalam kesuksesan siswa belajar. Gaya mengajar memang bisa jadi udah dari sononya, namun juga bisa dipercanggih dengan teknik, strategi, metode mengajar yang sekarang ini ditawarkan warna-warni. Mau milih yang seperti apa saja ada. Yang paling aktual sekarang adalah metode dengan theme, konstruktivistik.  Mengikuti alur pikir Piaget, guru diandaikan, sekali lagi mengajak siswa untuk mengkonstruksi dan merekonstruksi hal-hal yang dijumpai dalam hidup nyata sehari-hari, supaya ada link dan kebergunaan antara konsep dan praksisnya. Metode belajar juga banyak di elaborasi, seperti misalnya metode diskusi, TGT (Team Games Tournament), metode klarifikasi nilai. Tentu saja, metode belajar seperti ini, harus mereposisi gaya mengajar guru. Ini dia, saat micro teaching (mengajar dengan menggunakan kelas dan waktu yang sedikit), guru ada yang memperlihatkan kepiawaian mengajarnya, mengajar ala guru sekolah lanjutan, misal : jadi anak2, ada 4 norma dalam kehidupan, yaitu : nor... ma  huuu...(kum..ini yang jawab siswanya), norma mo... (ral.. siswa lagi)... dstnya. Tidak salah sih, cuma menurut saya koq STD (standar) ya..atau ya gaya seperti ini cucoknya untuk anak2 SD atau TK. Saya lihat ada beberapa guru yang malah jadi kaku, gugup, gagap (apa gara2 di nilai oleh instruktur). Padahal menurut saya, mengajar itu bukan hanya teknik saja, namun juga seni (art), itu mengapa ada guru yang menyenangkan saat mengajar dan  ada yang bikin boring. 4) Penguasaan Media. Bicara media, sungguh pesat, dan cukup menggembirakan memang, ada upaya2 dilakukan guru. Namun karena kita ini menurut Prof Koencoroningrat, termasuk orang2 yang suka kagetan dengan sesuatu yang dianggap wah, baru; maka jika musimnya OHP dulu, semua berbondong2 menggunakan; musim PC, laptop, LCD semua gunakan itu. Tidak ada yang salah, hanya kadang dalam penggunaan ada yang kurang pas.  Misal, alih2 menggunakan tekno canggih, materi ditayangkan dengan PP, lha yang tertayang, semua isi catatan masuk, jadi hurufnya kuecil2, yang penting guru tinggal membunyikan saja. Kalau menggunakan transparansi dengan OHP, ya demikian juga, tulisan tak terbaca, saking kuecilnya huruf2 yang terukir. Belum lagi,  kita masih cukup gegar dengan persiapan sebelum tampil, koneksitas antara laptop dan LCD, tayangan yang tidak bisa dibuka saat mau tampil. 5) Membuat evaluasi. Evaluasi memang tidak mudah, diperlukan skill yang memadai untuk membuat soal- soal yang berkualitas. Harus melewati uji validitas, taraf kesukaran soal agar soal benar2 teruji untuk disajikan. Pernah dulu pas kami menyelenggarakan seminar tentang evaluasi, ada ungkapan polos guru tentang evaluasi, jamannya KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), evaluasi terdiri 3 aspek, yaitu kognitif, afektif, psikomotorik..guru ini mengatakan, bahwa 'menyetip' (menghapus) evaluasi yang afektif, karena sulit diberi nilai (nah...). Guru2 di workshop banyak yang mengandalkan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dalam pembuatan soal2 untuk evaluasi. Yah..bisalah, asal tidak mematikan usaha sendiri untuk membuat soal2 untuk evaluasi. 6) Dari sisi Spirit. Saya ingin katakan spirit (semangat) guru variatif. Namun mudah ditebak, jika lolos dan lulus sertifikasi, maka pundi2 bulanan akan menaik 100%. Tapii apa ya hanya orientasi ini (ekonomik) saja yang mau dikejar. Simak jawaban dari guru2, "saya ini sudah mau pensiun, kalo lulus ya syukur, kalo tidak lulus, ya gimana ya...". " Saya diminta Kep Sek saya untuk ikut sertifikasi, sebenarnya saya belum merasa siap..". "Saya sudah 2 kali ini mengikuti, yang kemarin tidak lulus, yang sekarang ya mohon kebijakan ibu/bapak..." [caption id="attachment_154070" align="alignnone" width="528" caption="siswa-siswa di kelas mengerjakan tes..."]

13259521481086070574
13259521481086070574
[/caption] Apa yang sebaiknya di resepkan untuk guru2, menurut saya adalah dongkrak (naikkan) tingkat ke Pede an. PD (Percaya Diri) alias self confidence. Biasanya terbentuk berkat adanya konsep diri (self concept)  dan perasaan berharga (harga diri= self esteem). Konsep diri yang dibangun ya yang positif, kalo ada orang yang memuji anda, ucapkan trimakasih, bukannya malah marah merasa terhina. Ini akan menambah poin konsep diri positif. Harga diri juga ada yang ber indikator positif namun juga ada indikator negatif. Menghargai diri secara proposional lebih memadai, tinimbang misalnya merendah-rendah, namun sebenarnya pengin dihargai tinggi; atau sebaliknya merasa dirinya super, padahal biasa2 saja. Sering2 meng evaluasi diri, lewat diskusi dengan teman, sahabat, keluarga;  yang dibutuhkan adalah keterbukaan diri untuk di 'bedah' baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Jangan lakukan resistensi pada orang2 yang menilai kita. Kalau kita sudah berasa 'nyaman' dengan diri kita, maka bersiap kepakkan sayap PD anda. Guru2 dalam segi kemampuan  cukup, tinggal memoles spirit yang harus dibangun sendiri dengan bantuan dan dukungan lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat) , maka anda akan jadi memiliki pribadi guru yang 'utuh' dan siap sedia mensukseskan siswa2 anda...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun