Bukan kemolekannya, satu perkara yang dapat memanggil kita kembali ke suatu tempat berulang kali dalam hidup adalah kerinduan. Hati yang rindu.
Hai orang Jogja! Mengapa awal sekali kusapa? Sebab kurasa orang-orang di sana banyak yang lekas muak dengan romantisasi. Aku minta maaf, tapi itulah kenyataannya. Kotamu itu mengundangku kembali berulang kali walau kau sendiri jenuh barangkali. Bukan aku yang merayunya dengan kosa kata, dialah yang lebih dulu merayuku dengan pesona yang tak menua.
Pantainya, jajaran pegunungannya, goanya, sungainya, karangnya, seluk kotanya yang sibuk, dan penghuninya yang paham mata angin.
Kalau mau ke bandara, tinggal lurus, terus ngetan. Bisa nerabas juga, kidul bangjo itu ada cakruk, nah, sampeyan belok situ!
Tapi saat ini, aku ingin menceritakan satu sudutnya yang paling sering kukunjungi, Pantai Parangtritis. Seperti kita tahu, barisan selatan Jogja adalah tempat berbagai pantai berpragawati menawarkan diri secara centil; ada yang berpasir terang, ada yang gelap, ada yang hampar, dan ada yang berkarang. Tapi, di antara semua pantai itu, Parangtritis tetap menjadi satu buku tersendiri di antara tumpukan kisahku. Sebab, di sana ada rindu.
Apa yang dirindu? Mesin waktunya. Setiap memandangnya, aku kembali ke masa kecil di mana pantai itu selalu jadi tujuan wisata sekolah. Pantai itu juga mengingatkanku pada gandengan tangan kanan dan kiri orangtua yang serentak mengangkatku ketika ombak besar datang, sampai yang terakhir kali aku ke sana sudah bukan di gandengan kedua orangtua melainkan oleh sesosok pria yang mewarnai pantai itu lebih dari biasanya. Pantainya tidak berubah, yang berubah aku. Sejak di buaian yang rentan belulangnya, hingga yang berpuisi dalam rentan fuadnya.Â
Yang paling lucu pantai itu pulalah usil meminta sandal kesayanganku. Jadi, begini ceritanya. Ada satu pagi, aku bermain di air. Aku pikir sepasang sandal hijau yang lelah kutenteng itu sudah kuletakkan di tempat aman, namun lengah sedikit rupanya ombak naik dan membawa keduanya jauh ke tengah laut. Di tengah diam belum henyak dari terlamun tanpa harapan, segulung ombak lagi datang membawa sepasang sandal itu utuh di hadapanku. Utuh, keduanya! Dengan senang hati kubawa pulanglah, hari itu tidak kehilangan.
Lalu, setahun kemudian, aku pun kembali dengan sandal yang sama, tapi rupanya sang pantai masih menginginkannya. Pada kali yang kedua, sandal itu kembali diminta dan kali ini pula aku yang harus merelakannya. Kejadian itu benar-benar membekas, rahasianya, sampai terakhir kali aku kembali, masih memandang setiap ombak berharap sepasang sandalku yang hanyut ke tepian. Ini juga yang jadi satu alasan kembaliku.
Betapa pun yang paling suka kulakukan saat di pantai ini adalah menantang sapuan ombaknya yang tak pemalu, meski sudah jahat diambil paksanya alas kakiku dua kali. Kemudian, saat tubuh mulai dingin, berlarian di keleluasaannya juga menjadi hal yang seru; lebih-lebih jika ada yang mengejar. Kalau lagi beruntung, kadang awan terbang rendah sampai terlihat bayangannya. Di sisi timurnya pula sebuah karang nun kokoh memagar, dari karang itu sebuah air terjun memancar menuju laut lepas.
Pantai Parangtritis memang bisa dibilang pantai tua, banyak pantai-pantai lain di sekitarnya yang lebih gadis dan lebih pandai berdandan. Lain kali, boleh-boleh saja kita goda mereka, namun tetap dalam urusan kerinduan Parangtritis masih memiliki tempat untuk aku menyimpan lebih dari jejak kaki.