Mohon tunggu...
Tivana Fachrian
Tivana Fachrian Mohon Tunggu... Seniman - Coupleblogger

We wilt have poetry in our life. And adventure. And love. Love above all!

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Selo, Boyolali: Kawasan Wisata yang Bikin Kamu Dzikiran Terus

26 Juli 2022   15:59 Diperbarui: 26 Juli 2022   17:04 2689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selo merupakan nama dari sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Boyolali. Kecamatan ini posisinya di kawasan lereng gunung Merapi dan Merbabu. Nama Selo sendiri, konon sebab letaknya yang di sela-sela kedua gunung.  Dengan letak geografisnya yang demikian, Kecamatan Selo memiliki potensi wisata pemandangan alam yang menjanjikan.

Sumber: Google Map
Sumber: Google Map

Sejujurnya, saya ada rasa malu bahwa baru di usia saya yang kedua puluh dua tahun saya injakkan kaki di tempat indah ini. Sebagai dara kelahiran Boyolali, besar dan tinggal di Boyolali pula, tapi tidak pernah melihat Selo. Oalah! 

Pagi itu, kisaran pukul delapan, saya berangkat dari rumah bersama dengan seorang kawan tualang. Dia pulalah tersangka utama yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi dalam perjalanan ini. Kami pergi dengan prinsip Rangga dalam Ada Apa dengan Cinta 2, begini bunyinya,

Itulah bedanya liburan sama traveling. Liburan itu tahu mau ke mana, tidur di mana, semua terencana. Kalo traveling itu lebih spontan, penuh risiko, yang kita nikmati itu prosesnya bukan hasilnya.

Iyak, dengan prinsip Rangga ya, camkan. 

Di tengah perjalanan, barulah tercetus dalam benak untuk coba main ke Selo. Tancap gas, saya pun tidak ada bayangan buruk sama sekali. Sebagai info, saya juga sudah biasa lewat jalan menanjak dan menurun setiap mudik ke kampung halaman ayah saya di Pati, Jawa Tengah atau saat ke Gunung Kidul, Yogyakarta. Jadi, yang ada di pikiran saya kira-kira jalanannya akan seperti itu. 

Perlahan mengikuti arahan map, kami mulai merasakan tanjakan diaduhi kaki-kaki Vario putih yang punggungnya kami tunggangi. Tanjakan yang tak curam namun konstan dan sangat panjang. Hawa dingin pun mulai terasa, saya baca tulisan di sebuah sekolah yang hadapannya kami lewati, rupanya saat itu kami telah sampai di Kecamatan Cepogo. 

Tujuan pertama telah diputuskan. Map saya arahkan menuju New Selo. Semakin dekat dengan tujuan, jalan menjadi semakin berliuk dan sempit. Di sisi kanan dapat saya lihat kebun-kebun sayur milik warga, pemandangan hijau memanjakan mata. Tapi, tetap perhatikan jalan jika tidak ingin merasakan terbang bebas lalu mendarat di kolam sawi.

Sumber: DokPri
Sumber: DokPri

Di tengah perjalanan, kami sempat berhenti di sebuah tugu Petruk (salah satu tokoh Punakawan dalam pewayangan). Dari dekat tugu itu, pemandangan kota dari ketinggian mulai nampak. Sesaat saya berpikir, rumah yang dari dekat begitu megah dan besar tampak seperti remahan wafer dari atas sana. Bagaimana kalau dilihat dari Mata Tuhan? Tentu kecil sekali. Kecil, seperti debu. 

Sumber: DokPri
Sumber: DokPri

Beberapa pemuda pria pun berhenti di tugu itu, berkendaraan Vespa dengan nomor polisi Jakarta.

Rupanya, orang dari jauh-jauh pun telah mendengar keindahan tempat ini,

begitu pikir saya. 

Tidak lama setelahnya, perjalanan menuju tujuan pertama berlanjut. Perlahan mulai tampak tulisan New Selo berwarna putih di perut Merapi. Si Vario lari sekuat tenaga mengejar letak tulisan itu, hingga pada akhirnya kami sampai.  

Sumber: DokPri
Sumber: DokPri

Sayangnya, nasib sedang kurang mujur. Kabut begitu tebal saat itu. Sempat bercakap dengan seorang juru parkir, kata beliau, jika cuaca cerah kita bisa melihat pemandangan Merbabu dari sana. Namun, meski si bintang utama bersembunyi, kami masih bisa melihat indahnya lereng di bawah kaki yang memacak hijau dalam kaguman mata. 

Di tempat itu, warung-warung kopi berjajar; kopi saset yang saya pikir lumayan untuk mendekap kedinginan. Disediakan pula di warung-warung itu beraneka camilan, seakan mereka tahu hawa dingin selalu menuntut lapar. Lima ribu rupiah untuk secangkir minuman instan, harganya sama dengan yang berderet di depan kampus saya. 

Sembari minum, kami menentukan ke mana hendak pergi selanjutnya. Setelah menimbang beberapa pilihan, mata pun tertuju pada sebuah tempat yang dalam peta tertulis hanya tiga kilo meter dari New Selo. Embung Manajar, tanpa ba-bi-bu, kami pinang tempat itu.

Benar memang, tiga kilo meter. Tapi saya beri tahu, jalan yang kami tempuh sesungguhnya adalah menuruni Merapi, lalu naik ke Merbabu. Sepanjangnya seolah saya hanya ingin fokus pada peta di tangan, sebab dari layar itu sama sekali tidak tampak tanjakan maupun turunan.

Jalan turun Merapi bisa dibilang tidak begitu ekstrim, bahkan ngirit bengsin karena kami bisa bebas nggelinding di atas mesin mati. Barulah ketika kami masuk ke sebuah gang, kejanggalan terasa.

Jalan menuju Embung Manajar rupanya hanya setapak, kira-kira muat dua motor. Tepi dari jalan itu jurang terjal, salah tikungan sedikit saja mungkin sudah lain dunia. Tanjakannya pun hebat, sampai-sampai saya harus turun dari motor dan membantu menyemangati si Vario. 

Tapi, segala perjuangan terbayar dengan pemandangan sebuah genangan air yang dikelilingi sunyi, di belakangnya terdapat sebuah bukit dan di depannya lagi-lagi kolam pepohonan hijau nun luas dengan awan berlarian membelai rambutnya. 

Apa kabar Vario? Kurang-lebih sehat, hanya bau gosong. Saya sampai meminta maaf pada besi malang itu dan memohon supaya dia masih mau mengantar kami pulang. 

Sumber: DokPri
Sumber: DokPri
Kami duduk, berbincang ringan di bawah terik mentari yang sama sekali tidak terasa. Hingga tiba-tiba suatu kabut pekat datang, kabut itu benar-benar menyita jarak pandang. Saya ketakutan, apa lagi membayangkan jalan untuk turun dari sana yang di tepian jurang. Maka dengan rewelnya saya pinta turun, takut jika kabut makin pekat dan jalan semakin tak terlihat. 

Di tengah merangkak menuruni medan itu, kabut mulai pergi. Syukur lega kami ucap, kami pun menemukan turunan terakhir dengan selamat tanpa luka.

Belum puas juga kami kelanai tempat itu. Kami putuskan mencari tempat terbaik untuk ngopi. Pilihan jatuh pada sebuah kafe yang terletak di tengah antara Merapi dan Merbabu, sebuah kafe kekinian yang ramai pengunjung bernama Argo Loro.

Sumber: DokPri
Sumber: DokPri

Saya pesan Double Shot Espresso dan kawan saya Japanese V60. Lagi-lagi, harga kopinya sama saja dengan harga kopi di kafe-kafe dekat kampus, berkisar 20-30 ribuan setiap gelas. Kopi itu adalah secangkir yang tidak akan pernah saya sesali, meski sepulang dari sana saya merintih kesakitan karena GERD yang kambuh. Salah saya memang, sebab memesan double shot di keadaan perut kosong belum makan siang. Saya terlalu menikmati perjalanan hingga melupakan rasa lapar.

Sumber: DokPri
Sumber: DokPri

Di kafe itu sempat saya tulis sebuah puisi dua bahasa, anda juga bisa baca puisinya di sini. Tempat indah seperti ini memang sering membuat saya tidak bisa menahan kata.

Kafe itu adalah tempat terakhir kami sebelum turun. Di sana saya kembali merenungi apa kata Rangga. Benar bahwa traveling lebih membekas dalam dari sekadar liburan, barangkali sebab kami pergi hanya mengikuti kata perasaan. 

Tapi, bagian motor bau gosong saya rasa tetap jangan ditiru. Pastikan dulu kendaraan dalam kondisi prima ketika bepergian, jangan sampai niat hati berbahagia malah jadi berbahaya.

Baik, sekian cerita saya. Cerita kami. Semoga bisa menjadi inspirasi main untuk anda yang menyukai alam atau tempat-tempat yang bikin gemetar sembari dzikiran. Semoga kita senantiasa dilimpahkan rizki, sebab Indonesia itu indah dan sayang kalau anda tidak piknik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun