Jalan menuju Embung Manajar rupanya hanya setapak, kira-kira muat dua motor. Tepi dari jalan itu jurang terjal, salah tikungan sedikit saja mungkin sudah lain dunia. Tanjakannya pun hebat, sampai-sampai saya harus turun dari motor dan membantu menyemangati si Vario.Â
Tapi, segala perjuangan terbayar dengan pemandangan sebuah genangan air yang dikelilingi sunyi, di belakangnya terdapat sebuah bukit dan di depannya lagi-lagi kolam pepohonan hijau nun luas dengan awan berlarian membelai rambutnya.Â
Apa kabar Vario? Kurang-lebih sehat, hanya bau gosong. Saya sampai meminta maaf pada besi malang itu dan memohon supaya dia masih mau mengantar kami pulang.Â
Kami duduk, berbincang ringan di bawah terik mentari yang sama sekali tidak terasa. Hingga tiba-tiba suatu kabut pekat datang, kabut itu benar-benar menyita jarak pandang. Saya ketakutan, apa lagi membayangkan jalan untuk turun dari sana yang di tepian jurang. Maka dengan rewelnya saya pinta turun, takut jika kabut makin pekat dan jalan semakin tak terlihat.Â
Di tengah merangkak menuruni medan itu, kabut mulai pergi. Syukur lega kami ucap, kami pun menemukan turunan terakhir dengan selamat tanpa luka.
Belum puas juga kami kelanai tempat itu. Kami putuskan mencari tempat terbaik untuk ngopi. Pilihan jatuh pada sebuah kafe yang terletak di tengah antara Merapi dan Merbabu, sebuah kafe kekinian yang ramai pengunjung bernama Argo Loro.
Saya pesan Double Shot Espresso dan kawan saya Japanese V60. Lagi-lagi, harga kopinya sama saja dengan harga kopi di kafe-kafe dekat kampus, berkisar 20-30 ribuan setiap gelas. Kopi itu adalah secangkir yang tidak akan pernah saya sesali, meski sepulang dari sana saya merintih kesakitan karena GERD yang kambuh. Salah saya memang, sebab memesan double shot di keadaan perut kosong belum makan siang. Saya terlalu menikmati perjalanan hingga melupakan rasa lapar.
Di kafe itu sempat saya tulis sebuah puisi dua bahasa, anda juga bisa baca puisinya di sini. Tempat indah seperti ini memang sering membuat saya tidak bisa menahan kata.
Kafe itu adalah tempat terakhir kami sebelum turun. Di sana saya kembali merenungi apa kata Rangga. Benar bahwa traveling lebih membekas dalam dari sekadar liburan, barangkali sebab kami pergi hanya mengikuti kata perasaan.Â
Tapi, bagian motor bau gosong saya rasa tetap jangan ditiru. Pastikan dulu kendaraan dalam kondisi prima ketika bepergian, jangan sampai niat hati berbahagia malah jadi berbahaya.