Baru sekitar dua bulan lalu, Pak Yosep memulai usahanya berjualan bubur ayam khas kota asalnya Tasikmalaya di depan Pasar Sambi, Kabupaten Boyolali. Usaha ini adalah pengalaman pertamanya.
Ketika kutemui (7/28), beliau pun bercerita bahwa sebelumnya sempat malang melintang bekerja di berbagai kota. Mulai dari admin surat kendaraan di sebuah showroom mobil, kemudian hijrah ke Jawa Timur dan bekerja di sebuah pabrik pupuk pada 2010, membawa keluarganya menetap di kampung halaman sang istri di Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali dan mendirikan tempat tinggal di sini pada tahun 2012; rumah yang kedua pintunya menyambutku sebelum memulai bincang ini.
Tak sampai di situ, Pak Yosep sempat merantau lagi ke Ibukota dan bekerja sebagai admin hotel serta tempat hiburan akan tetapi beliau mengaku tidak nyaman dengan dunia malam yang kala itu mengakrabinya maka kemudian beliau kembali ke kediaman dan berkumpul lagi dengan keluarga. Pada 2017 beliau diajak oleh seorang teman terbang ke Pulau Kalimantan dan menjadi admin di sebuah perusahaan tambang batu bara, namun tak lama pada akhirnya beliau memilih kembali ke rumah sebab beliau merasa berada dekat dengan keluarganya adalah perasaan terbaik.
Setelah perjalanan panjang itu, Pak Yosep mulai mencari peluang baru. Pilihannya pun jatuh kepada bubur ayam. Selain karena bubur ayam merupakan hidangan khas kota asalnya, beliau mengaku sangat menyukai makanan ini. Bukan hal yang mudah memulai sebuah usaha.Â
Berbagai kendala sempat dihadapi, apalagi beliau membuka usaha dalam masa pandemi Covid-19 dengan segala warnanya; mulai dari perekonomian masyarakat yang kurang pasti sehingga berjualan makanan menjadi suatu tantangan tersendiri, kemudian berhadapan dengan masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, hingga perbedaan selera target pembelinya.
Awal-awal sempat buka sampai malam, tapi ternyata makan bubur di siang atau malam hari belum populer di masyarakat sini. Mereka biasa makan bubur pagi-pagi, sedangkan kalau di sana (Tasikmalaya) orang makan bubur malam-malam itu sudah biasa maka banyak orang yang berjualan bubur sampai larut malam juga. Apa lagi sekarang kebentur PPKM, ada larangan berjualan malam. Jadi, saya buka di pagi hari saja,
beliau menjelaskan.
Selain itu, persaingan juga menjadi salah satu tantangan. Sudah ada beberapa pedagang bubur ayam dan berbagai makanan lain di sekitar tempat Pak Yosep berjualan. Akan tetapi Pak Yosep yakin bahwa jatah rizki masing-masing telah ditetapkan, selama beliau bisa menjaga kualitas dan juga cita rasa buburnya, pelanggan akan menggemarinya.
Ketika kutanyakan apa perbedaan antara bubur ayam Tasikmalaya dengan bubur ayam di daerah lain, Pak Yosep menjelaskan bahwa pada resep aslinya bubur ayam Tasikmalaya menggunakan ayam kampung yang disuwir lembut. Adonan bubur Tasikmalaya pun dibuat lebih encer dan tanpa kuah santan.Â
Namun, menyesuaikan dengan lidah pelanggannya di sini, Pak Yosep membuat bubur yang lebih kental serta berkuah santan. Keistimewaan dari bubur Tasikmalaya lainnya terletak di taburan. Bubur Pak Yosep dilengkapi dengan taburan cakwe yang tidak dimiliki oleh kebanyakan bubur dari daerah lain.
Setiap hari, Pak Yosep mampu menjual sebanyak 1kg bubur atau berkisar 30 hingga 35 porsi. Pada saat jualannya ramai, beliau pernah menjual sampai 2,5kg dalam sehari. Namun, dalam masa PPKM ini beliau kembali pada takaran 1kg bubur saja. Biasanya, Pak Yosep berjualan di dekat Halte Pasar Sambi dari mulai pukul setengah enam pagi sampai dengan pukul sembilan.
Alhamdulillahnya, kalau jualan sendiri begini bisa atur waktu sebebasnya. Tidak perlu kejar setoran, jadi mau banyak atau sedikitkah porsi yang dijual pun bisa semau kita. Selain itu bisa dicicil seperti menggoreng dan membungkus kerupuknya, tinggal malamnya saja meracik bubur,
ungkap Pak Yosep.
Satu hal menyentuh hati, setiap pagi sebelum berangkat berjualan Pak Yosep selalu menyisihkan beberapa porsi buburnya untuk diantarkan ke rumah-rumah tetangga secara bergiliran. Hal ini dilakukan oleh beliau sebagai jalan sedekah yang diharap bisa menjaga usahanya agar senantiasa diberikan kelapangan oleh Sang Kuasa.
Setiap pagi, meskipun satu atau dua porsi (bubur dibagikan). Harapan saya sederhana. Ketika berbagi, saya selalu minta doa. Kita tidak tahu di antara kita siapa doanya yang paling didengar. Barangkali saya beri mereka seporsi bubur, mereka beri saya doa. Lalu ada doa baik di antara mereka yang diijabah oleh Allah kemudian akan menjadi satu keberkahan untuk dagangan saya.
Pertemuanku dengan Pak Yosep kali ini tak hanya membuka mata mengenai kegigihan berusaha akan tetapi juga membuatku kembali teringat bahwa sesungguhnya nikmat dalam bekerja bukan ditakar dari banyak sedikitnya  harta yang mampu kita kumpulkan di dunia akan tetapi dari seberapa besar keberkahan yang dikandungnya. Rizki yang berkah bukan sebatas memenuhkan dan mencukupkan, rizki itu hadir membawa seikat ketenangan. Dalam mencari, kita sering kali melupakan Sang Pemberi. Dalam berusaha, sering kali kita lupa kepada siapakah sesungguhnya Sang Pemunya. Kini kurasa, sudah saatnya kubersihkan cermin dan mulai berkaca.
Catatan pribadiku terisi lagi dengan satu koleksi warna pena baru. Pelajaran lain pun menunggu. Rasanya, jadi bersemangat menemukan cerita-cerita berikutnya. Terima kasih telah singgah, semoga tulisanku kali ini membawa kebaikan yang indah. Sampai jumpa lagi, (TF).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H