Mohon tunggu...
Tiuruli Sitorus
Tiuruli Sitorus Mohon Tunggu... Mahasiswa -

1996

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Surat dari Jogja untuk Ibu dengan Kayu Putih

29 Desember 2017   21:31 Diperbarui: 31 Desember 2017   13:50 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jogja—datang dengan kalbu, pulang dengan rindu

Jogja di bulan Desember selalu meninggalkan sebuah kisah. Kisah tersebut bukan melulu hanya tentang tetes-tetes hujan yang membasahi bumi, melainkan juga kisah perjuangan anak-anak manusia di bawah matahari. Jogja selalu menyambut setiap orang yang datang kepadanya dengan untaian harapan. Tak terkecuali denganku, si generasi Z. Generasi yang dekat dengan layar. Tak heran jika teknologi touchscreen menjamur di era ini dan akan langgeng untuk waktu yang cukup lama. Setidaknya sampai manusia bisa menemukan suatu teknologi yang bisa beroperasi hanya dengan kekuatan pikiran, kedipan mata, ataupun jentikan jari.

Pagi ini, Jogja masih ditemani dengan rintik hujan. Aku, salah satu generasi Z yang masih harus berjuang menuntut ilmu di kota ini pun dipaksa untuk berpisah dengan surga kecilku. Tempat tidur kosan adalah surga kecil bagiku. Pagi ini aku sudang nagkring di warung gudeg tak jauh dari kosan. Sebagai generasi Z tentu aku tidak sendirian, melainkan ditemani oleh segenggam smartphone.Sambil menikmati Sambal Krecek aku memandangi tetes-tetes hujan. Jogja memang sangat nyaman. Setidaknya sampai masuk angin menyerang seperti yang sedang aku rasakan ini.

Sebenarnya penyakit apa masuk angin itu? Penyakit ini tidak terdapat dalam istilah medis tetapi merupakan penyakit paling terkenal di Indonesia. Masuk angin sering didefinisikan sebagai rasa “tidak enak badan” karena banyaknya angin yang masuk ke tubuh. Lebih jelasnya, gejala-gejala yang timbul adalah kembung, tak bisa berhenti buang angin, batuk, mual, merasa kedinginan, seperti demam dan berbagai rasa tidak enak lainnya. Benda dingin yang disebut smartphoneitu pun tak bisa mengobati rasa-rasa tidak enak tersebut. Rasa tidak enak tersebut pun diwarnai dengan perasaan gereget lainnya, karena besok ada tiga deadline yang harus aku kejar. Parahnya, tubuhku menolak untuk berlari mengejar deadline. Tubuhku hanya bisa berusaha menghabiskan makanan ini serta berharap malaikat Tuhan merasa kasihan padaku.

Mungkin hanya aku yang masuk angin, tetapi justru mencari gudeg. Ya, mau bagaimana lagi? Gudeg adalah makanan favorite-ku. Sayangnya, pagi ini gudeg bukanlah makanan kesukaanku. Karena ternyata rasanya hambar. Lidahku sedang tidak merespon rangsangan-rangsangan kelezatan dari gudeg tersebut. Aku yang pucat dan batuk-batuk, hampir tak kuasa untuk menghabiskan gudeg ini.

Namun, tiba-tiba seorang malaikat Tuhan datang. Seorang ibu penuh kehangatan datang mendekatiku. Ia memandangku sejenak, merasa iba, tetapi kemudian tersenyum. Tanpa sepatah kata ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Aku menyebut sesuatu tersebut sebagai harta karun. Ibu tersebut memberikan harta karun tersebut kepadaku. 

Aku pun mengaguminya untuk sesaat. Ibu tersebut memberikanku minyak KayuPutihAroma. Aroma dari minyak kayu putih tersebut membawaku kepada memori kehangatan mamaku di rumah. Aku pun sadar bahwa smarphone dan segala kecanggihannya tak akan pernah bisa menggantikan kehangatan dari seorang manusia. Kadang-kadang smarphonememang terlalu dingin untuk sebuah hati. Saking dinginnya, generasi Z pun terancam menjadi budak teknologi. Generasi Z memang harus sering-sering diingatkan betapa sebenarnya mereka merindukan kehangatan, termasuk dari manusia lain, bukan dari mesin-mesin dingin.

Aku pun sibuk menggosokkan minyak kayu putih ke tubuhku dan menikmati aromanya yang membawa kedamaian. Kemudian aku tersadar bahwa aku bahkan belum mengucapkan terima kasih kepada ibu itu. Akan tetapi, ketika aku hendak mengucapkan terima kasih, ternyata ibu tersebut sudah tidak ada. Aku memandang kesana-kemari. Hujan pun sudah reda dan Jogja tetap menjadi Jogja. Kemudian, aku hanya terdiam, dan kembali menghirup minyak kayu putih aroma tersebut. Aku memejamkan mata dan menyematkan rasa terima kasih ku pada ibu tersebut dalam doaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun