Mohon tunggu...
Charlie
Charlie Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Maaf, Jihad, dan yang Diteladani

19 November 2016   19:07 Diperbarui: 19 November 2016   19:34 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seberapa dalam arti kata "maaf" yang ada pada kita ?  secepat apa reaksi kita pada kata "jihad" ?.

Beberapa waktu yang lalu Jakarta disibukkan oleh gelombang lautan manusia yang didominasi oleh warna putih, itu adalah refleksi dari apa yang disebutkan diatas tadi, mereka menyatukan barisan dan berkumpul di mesjid Istiqlal bergerak menuju Monas dan Istana Negara selepas sholat jum'at.Teriakan Takbir disela sela gemuruh slogan yang lain ataupun meneriakkan keinginan masing masing dengan semangat yang yang diyakini - semangat jihad.

Al Maidah 51 adalah kalimat yang sering terdengar dan sering ditulis pada kolom searching didunia maya dan hampir semua elemen masyarakat muslim pada saat itu tergerak untuk mengeluarkan pendapat ataupun hanya sekedar menjadi pendengar ataupun pembaca yang setia..

Penistaan agama adalah dua kata yang akhirnya menjadi pemicu gelombang manusia tadi dan Al Maida 51 menjadi trigger yang ampuh dan menjadikan magnet pemersatu bagi umat muslim yang terusik. Semua berjalan wajar.

Tapi bukan itu yang menggerakkan saya untuk menulis artikel ini, ada sesuatu yang mengusik benak saya yaitu kata "Maaf" itu.

Islam adalah Rakhmatan lil "alamin, Rasul adalah teladan bagi umat muslim, Pemaaf adalah sifat yang sangat Islami sementara itu Allah telah menjamin kesucian agamanya dan berada dalam lindungannya tidak akan ada yang mampu menghancurkannya.

Penistaan telah terjadi, kitapun telah memprotesnya, dan permohonan maaf telah disampaikan - apakah itu belum cukup ?.  penghujatan dan intimidasi masih berlanjut lalu dimana Rakhmatan Lil 'Alaminnya, dan Rasul tidak pernah menyelesaikan masalah dengan emosional lalu yang kita teladani siapa ? Islam tidak akan hancur oleh penista itu, Allah sendiri yang menjamin. Saya akhirnya berfikir bahwa mungkin saya marah bukan karena penistaan itu lagi tapi marah karena hal yang lain dan sayapun tidak yakin lagi apakah jihad masih relevan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun