Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Masih Perlukah Perbaikan UU KDRT

15 Maret 2020   20:53 Diperbarui: 15 Maret 2020   21:10 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang mahasiswi universitas ternama di ibu kota, dalam salah satu orasi di depan rekan-rekan badan eksekutif mahasiswanya, mengkiritisi tentang RUU Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang terkesan bias jender.  Di antaranya, dengan disebutkan kewajiban seorang istri adalah memenuhi hak suami dan anak-anak, namun sebaliknya tidak disebutkan kewajiban suami memenuhi hak istri dan anak-anak.  Hanya sekedar memenuhi kewajiban rumah tangga, artinya anak dan istri tidak memiliki hak yang berdiri sendiri atau timbul dari keinginan sendiri.  Jadi sepanjang kewajibannya sebagai suami sudah dipenuhi, maka hak-hak lainnya dari istri dan anak berpotensi diabaikan, sebagai misal: hak untuk menyampaikan pendapat, keinginan, pikiran dan lain sebagainya.  Bukan tak mungkin hak untuk menolak jika sang suami ingin menikah lagi pun bisa-bisa diabaikan, karena bertentangan dengan kewajiban istri untuk memenuhi hak suami.  Bukankah menikah lagi merupakan hak suami?

Di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya, hubungan antara suami dan istri masih dianggap sebagai ranah pribadi.  Sehingga jika pun terjadi pertengkaran, tetangga kanan kiri hanya dapat mendengar dengan segala syak wasangka saja.

Bahkan di lingkungan tertentu pemukulan terhadap istri oleh suami, hanya ditanggapi dengan rasa kasihan oleh para tetangga dan handai taulan, melapor kepada polisi hanya akan membuat malu sanak saudara dan para keluarga besar.  Baik keluarga besar yang terhormat maupun yang tidak terhormat, dengan alasan-alasan yang tidak elok disebut di sini.

Mungkin mereka hanya bersedia melaporkan kepada yang berwajib, jika salah satu piihak baik suami atau istri, namun hampir sembilan puluh sembilan persen lazimnya pihak istri, menemui ajal.  Setidaknya mengalamai cacat tetap hingga akhir hayat.

Kekerasan dalam rumah tangga, pada hakekatnya adalah tindakan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan hubungan sesuai yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, biasa dikenal dengan nama UU KDRT.

Dalam pasal 5 Undang-Undang KDRT melarang setiap kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga.  Kekerasan fisik, sangat gampang dicegah dan dilacak, karena jelas akibatnya.  Misalnya memar di wajah, di tubuh, patah mematah tulang belulang dan luka-luka fisik lain akibat pukulan, tendangan dan sejenisnya.

Namun untuk kekerasan seksual, yang dilakukan suami terhadap istri, akan sulit untuk dilacak.  Dan jika pun ada seorang wanita, yang berani melaporkan bahwa dirinya, maaf, telah diperkosa oleh suaminya sendiri, kemungkinan besar polisi yang menerima laporan, apalagi jika polisi tersebut baru  beberapa tahun bertugas kemungkinan besar akan pusing bukan kepalang.  Diterima bikin canggung, tak diterima melanggar aturan.  Akhirnya sang polisi yunior melaporkan kepada atasannya yang lebih senior.  Giliran sang atasan yang tercengang-cengang, seperti orang kehilangan akal.

Kekerasan psikis dan penelantaran keluarga, jika dilakukan dengan bentuk yang tidak terlalu ekstrim, maka akan sulit juga untuk dideteksi.  Akibatnya, kekerasan tersebut akan dianggap sebagai suatu yang lumrah, dan yang menanggung akibatnya seumur hidup adalah para wanita dan anak-anak.  Seperti apa kekerasan psikis tersebut?  Perbuatan yang menimbulkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Jika dilihat dari kriteria tersebut, maka bukan tak mungkin perbuatan-perbuatan memaki-maki anak, atau istri, atau memaki-maki suami oleh istri berpotensi menimbulkan hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan sejenisnya, yang pada akhirnya menimbulkan trauma mendalam bagi korban dapat dikategorikan sebagai salah satu kekerasan dalam rumah tangga, yang celakanya tidak terdeteksi.

Penelantaran keluarga, juga jika dilakukan secara ekstrim akan sangat gampang diketahui,  misalnya membiarkan anak dan istri kelaparan, ini bahkan sudah bisa dikategorikan ke golongan suami yang mengidap penyakit gila nomor enam belas.

Namun bagaimana dengan yang terselubung, contohnya seorang suami yang melarang istrinya untuk bekerja dan memiliki penghasilan sendiri.  Sehingga dengan berlindung dibalik kalimat sakti "pengabdian istri terhadap suami", sang istri yang kadangkala mampu menghasilkan uang yang lebih besar dari suami, terpaksa harus menerima uang ala kadarnya dari suami dan menjadi ibu rumah tangga yang bertugas membereskan rumah dan mengasuh anak sepanjang hari.

Dengan demikian sang istri menjadi tergantung secara ekonomi kepada suaminya.  Akibat dari ketergantungan ekonomi inilah, banyak para istri di negeri ini menerima dengan pasrah apapun yang dilakukan oleh suami.  Tak sedikit para wanita yang terpaksa menerima "dimadu" karena beralasan, kasihan anak-anak jika harus bercerai sebab dirinya tidak mampu membiayai kehidupan anak-anak yang akan ikut kepadanya jika bercerai dari sang suami. 

Jadi pada dasarnya, undang-undang yang mengatur tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, jika disosialisasikan dan ditaati oleh segenap rakyat Indonesia, sesungguhnya sudah lebih dari cukup dalam hal memberikan perlindungan terhadap kekerasan yang dilakukan pasangannya.

Namun demikian, karena pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat yang sangat rendah serta penegakan hukum yang juga sangat lemah, maka undang-undang sebagus apapun tak akan banyak berarti dan mampu mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Seperti kata pepatah Belanda, "Lebih baik aturan hukum yang tidak terlalu baik, namun dijalankan oleh penegak hukum yang kuat, dibandingkan aturan hukum yang baik, namun dijalankan oleh penegak hukum yang lemah.".

Berangkat dari hal di atas seorang ayah yang memiliki dua putri, menasehati kepada kedua anak gadisnya tersebut.  "Nak, kalian berdua sama-sama wanita, tak memiliki adik atau kakak laki-laki.  Jika ayah sudah meninggal, maka tak ada lagi lelaki yang akan menjaga diri kalian.  Jangan terlalu berharap kepada suamimu, sebab siapa yang tahu kalian akan mendapatkan suami yang baik, atau bajingan seperti buaya.

Oleh karena itu, di samping nanti kalian mencari ilmu untuk kehidupan di masa depan, jangan lupa belajar juga ilmu hukum, agar kalian bisa menjaga diri dari kekerasan yang bukan tak mungkin akan menimpa jika kalian menikahi pria yang ringan tangan.".  Sang anak mengangguk-angguk, dan ternyata di kemudian hari menuruti nasehat sang ayah.  Anak yang pertama kuliah hukum untuk jadi corporate lawyer atau notaris, putri kedua kuliah hukum untuk mejadi pembela hak asasi kaum tertindas.

Dan setelah si bungsu, di kegiatan ekstra kurikulernya menjadi pendamping kaum tertindas di Kebun Sayur Ciracas, Jakarta Timur, menjadi penggerak kesetaraan wanita, giliran sang ayah menjadi was-was.  Khawatir di masa depannya kegiatan sang anak akan bersinggungan dengan jaringan kekuasaan, akibatnya bisa lebih fatal dari pada menikahi lelaki buaya.

Tangerang, 15 Maret 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun