Sepasang anak manusia memulai hidup baru. Terdiri dari sang suami penyayang hewan, dan penyuka kucing sebaliknya si istri benci bukan buatan dengan mahluk dari spesies pencuri di belakang punggung tersebut. Di depan dikasih makanan pura-pura tak mau, namun di pemberi lengah sedikit, sabet. Konon dari sanalah istilah malu-malu kucing bermula.
Demi menunjukkan keseriusan berumah tangga, atau entah demi alasan apa, yang pasti mereka sepakat untuk tak memelihara kucing. Maka oleh sang suami dibuatlah kolam ikan di belakang rumah, sebab sebagian orang percaya bahwa orang yang tak sayang dengan hewan biasanya berhati beku. Maka mulailah mereka menjalani hidup dengan peliharaan ikan sekenanya yang dibeli sambil lalu di pasar terdekat.
Singkat cerita, lahirlah dua orang putri kecil, berjarak dua tahunan antara kakak dan adik. Saat masih di bawah tiga tahun, mereka masih taat dan abai terhadap kucing. Kerjaan mereka di waktu luang, saat ayah dan ibunya lengah yah mengaduk-aduk isi kolam, bahkan karena di kolam juga dipelihara tiga ekor kura-kura Brazil, hewan lamban tersebut jadi bulan-bulanan keisengan kedua anak bandel tersebut.
Hingga pada suatu hari pipi sang adik terdapat luka menyerupai huruf V, yang kemudian diakui akibat gigitan kura-kura. Rupanya, ketiga kura-kura suatu siang mereka angkat dari kolam, lalu diadu lomba lari. Sang adik saking gemasnya menyodorkan kura-kura ke pipinya, mungkin dengan harapan pipinya dicium. Sang kura-kura salah paham, bukannya dicium malah digigit.
Tak jelas apakah sang adik berteriak, menangis atau tertawa. Yang jelas sejak saat itu sang kura-kura dengan persetujuan seluruh anggota keluarga, di lepas liarkan ke sungai terdekat. Sebab menurut perkataan tetangga yang merangkap provokator, kura-kura bisa menularkan penyakit hepatitis B. Tak jelas sumbernya dari penelitian siapa.
Menginjak sang adik masuk sekolah TK, kesukaan terhadap kucing mulai terlihat, padahal tak ada yang mengajari. Setiap ada kucing yang lewat, kakak beradik tadi berhamburan dan menangkap serta memeluk kucing tersebut bergantian. Tak peduli kucing lewat tadi baru pulang dari mengaduk-aduk tempat sampah, atau baru selesai sarapan tikus mentah.
Menyikapi hal tersebut sang ayah dengan segala cara, meminta izin kepada sang ibu agar diperbolehkan memelihara kucing, daripada buah hati mereka jatuh sakit akibat memeluk kucing liar yang tak jelas riwayat kesehatannya. Dengan berat hati dan dengan berbagai catatan sang ibu mengizinkan. Akhirnya jadilah dua ekor kucing menjadi penghuni baru, sebagai pelengkap, teman, ataupun saudara bagi anak-anaknya.Â
Sang ayah gembira bukan buatan, karena selama beberapa tahun terakhir menahan diri atas kesukaannya terhadap hewan malas namun menggemaskan tersebut. Adapun bagi sang istri, yang sebelumnya benci terhadap kucing, akhirnya luluh dan mulai sayang juga. Kadangkala jika sedang iseng, ia mengajak ngobrol si kucing, kendatipun sang kucing tak menjawab dengan alasan yang sudah dimaklumi oleh manusia manapun di muka bumi.
Namun jika suasana hatinya sedang tak nyaman, jengkel atau alasan lain yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri, maka sang kucing harus ekstra hati-hati. Sebab bukan sekali dua tiba-tiba sandal atau benda ringan lainnya tiba-tiba mendarat di punggung salah satu dari mereka. Setelah kaget semenit dua, sang kucing sadar belaka bahwa sang ibu anak-anak baru saja selesai melemparkan dengan penuh emosi benda tersebut ke tubuh salah satu dari mereka.
Betapa sayangnya keluarga tersebut kepada para kucing, yang memang tak memerlukan perawatan yang rumit. Karena sifat seekor kucing, jika mereka dalam keadaan kenyang maka nyaris sehari penuh mereka hanya tidur bergelung di manapun sesuai dengan keinginan mereka.
Adapun kucing yang dipelihara adalah kucing jantan, dari jenis kampung dan satu lagi dari ras Persia, serta perlakuan terhadap keduanya pun sama. Diberi makanan yang sama, dan pada saat-saat tertentu jika musim kawin mereka berdua pun pergi dua tiga hari entah ke mana. Kemudian pulang dan setelah makan dengan rakusnya tidur seharian di rumah.