Mohon tunggu...
Tito Tri  Kadafi
Tito Tri Kadafi Mohon Tunggu... Guru - Pendiri Bastra ID (@bastra.id)

Bukan anak gembala, tetapi selalu riang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kala Memeluk Kebaikan Tradisi: Keberagaman Cara Pandang dalam Perayaan Maulid Nabi

8 Oktober 2022   21:15 Diperbarui: 8 Oktober 2022   21:17 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribun Banten/Mildaniati

Perdebatan masyarakat mengenai tradisi dan agama terus berlanjut. Umumnya, seseorang menganggap tradisi sebagai benturan bagi agama yang telah dijalankannya sesuai kitab. Namun, tak dapat dimungkiri, kehadiran tradisi ialah bagian perjalanan sejarah dan refleksi di tengah keberagaman dan gaung moderasi beragama.   

Tahun lalu menjelang Maulid Nabi, Surti dan keluarga tidak membuat panjang mulud, ia memahami kondisi diri yang hanya bekerja sebagai asisten rumah tangga, yang gajinya pun perlu dihemat untuk kehidupan sehari-hari. Meski begitu, ucapnya tak gengsi saat menyatakan ketidaksanggupan, tetapi berupaya menawarkan bantuan, saat yang lain sibuk mendekorasi panjang menjelang perayaan.

Sudah menjadi tradisi, menjelang perayaan Maulid Nabi, masyarakat Serang baik di kabupaten atau kota, sibuk menyiapkan panjang untuk disedekahkan. Panjang mulud adalah miniatur berbentuk kapal, masjid, rumah, dll, yang dihias dengan beragam warna serta diisi sembako, uang, ataupun telur yang dibungkus kertas hias. Isi ini juga biasanya disesuaikan dengan potensi yang ada di wilayah masing-masing, misalnya pemilik konveksi membuat panjang dengan isi pakaian baru, atau tukang mebel yang memberi dominasi isi berupa barang-barang mebel. Setelah jadi, pukul 8 pagi keesokannya-- sekitar itu, panjang dibariskan  di halaman masjid, diarak keliling kampung bersama sederet penabuh rebana dan pezikir di depannya, dan setelahnya kegiatan ngeropok -- memperebutkan isi panjang, pun dimulai.

Tradisi yang telah mengakar selama bertahun-tahun ini merefleksikan Serang sebagai kota yang agamis nan sarat adat, meski ada juga pihak yang ogah melakukannya karena menganggap tradisi demikian sebagai sesuatu yang jauh dari agama. Mendengar anggapan yang membenturkan agama dan tradisi, saya jadi ingat dakwah sinkretis Sunan Kalijaga yang kisahnya diperdengarkan dari masa ke masa. Menggunakan wayang dan gamelan, beliau menyiarkan dan mengajak penduduk untuk memeluk Islam ke berbagai penjuru Jawa. Dasarnya, tradisi ialah bagian perjalanan sejarah yang memberi ruang suatu agama bisa menyebar dan diajarkan lebih masif, termasuk Islam.

Kala menyambut Maulid, beragam tradisi khas juga dilakukan di daerah lain, sebut saja Grobogan di Yogyakarta, Bungo Lado di Padang Pariaman, atau Kirap Ampyang di Kudus adalah representasi keberagaman yang merefleksikan kebaikan serta nilai berbeda, tetapi tetap bersama. Alangkah indahnya  jika tiap manusia mampu memeluk ragam kebaikan yang digali dari tradisi -- yang menjunjung tinggi kemanusiaan tentunya, dan bukan sekadar menampilkan tradisi sebagai raut kusam, kemudian gagah mendeklarasi untuk meninggalkannya.

Melihat Kebaikan Tanpa Bandingan

"Segala hal yang dianggap oleh kaum Muslim sebagai sesuatu yang baik maka menurut Allah hal itu adalah baik pula" (HR. Ahmad)  

Aturan pembuatan panjang mulud dasarnya bersifat sukarela. Ada yang meminta tiap individu untuk membuat (bagi yang berkenan), ada pula kebijakan untuk menyusunnya dari hasil iuran (bagi yang berkenan). Bak kebaikan, keduanya hadir dengan saling memahami dan tanpa paksaan. Meski dalam beberapa kasus, momen ini sering dibenturkan dengan agama dan dianggap tidak sesuai dengan nilai Islam, misalnya saat ada orang yang rela berhutang demi panjang, yang sebenarnya sikap demikian tidak berangkat dari ajaran agama atau pun tradisi, tetapi preferensi masing-masing individu.

Surti adalah contoh figur dari esensi panjang mulud sebenarnya. Meski tidak membuatnya, ia dan keluarga turut membantu tetangga untuk membangun pondasi kayu, menghias, lalu mengisinya dengan barang-barang yang dibutuhkan. Perayaan ini pula menjadi modal sosial (social capital) masyarakat dalam konteks keberagaman guna menguatkan solidaritas dan gotong royong umat. Wujud demikian membuktikan bahwa panjang mulud ialah ruang untuk mempraktikkan nilai kebaikan yang diajarkan dalam agama. Seyogianya, kebaikan ini tidak perlu ditakar, lalu dibandingkan, dan dianggap lebih rendah dari preferensi diri sendiri. Kesadaran dan implementasi nilai lah yang lebih penting daripada menguatkan prasangka dengan bumbu-bumbu yang diracik sedemikian rasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun