Mari sejenak beralih ke pertunjukan teater virtual, sebuah gagasan baru setelah sekian lama menjalankan produksi teater konvensional. Jiwa teater tampaknya tidak sekental dalam produksi pada umumnya.Â
Penonton duduk di hadapan layar, sedang pemain berada di panggung yang jauh dengannya; atau bisa juga sedang harap-harap cemas, agar rekaman teaternya dapat tayang dengan lancar. Agaknya ada kekuatan yang hilang, akibat tidak adanya pertemuan langsung.Â
Dalam sebuah rekaman, penonton hanya memungkinkan menikmati satu sisi yang sedang direkam, berbeda jika dalam pertunjukan langsung, di mana mata dapat berakomodasi lebih luas melihat ruang, bahkan lebih sensitif hingga penglihatan ke detail kecil dibanding dengan lensa kamera.
Kedua, kehadiran teater virtual bisa juga menggoyahkan identitasnya sebagai pertunjukan langsung. Mengalihwahanakan teater ke dalam sebuah rekaman akan beririsan dengan identitas film, yang umum ditayangkan demikian. Tanpa bermaksud mengusulkan perubahan, hilangnya nilai berikut bisa saja menjadi sebuah sejarah terciptanya istilah baru, 'film teater' barang kali.
Mari lihat kembali pertunjukan Srintil yang telah disinggung di muka. Pementasan ini secara murni dibiayai oleh Indonesia Kaya, dengan proses produksi selama tiga bulan.Â
Maera, produser eksekutif pementasan Srintil menyatakan bahwa "pekerjaan ini adalah kegiatan yang manusianya perlu lebih banyak pakai hati, ketimbang memikirkan materi", tuturnya dalam Diskusi Keroyokan Tonton Teater yang diadakan oleh Bastra ID.Â
Tanpa bermaksud menjadikan tulisan ini sebagai konten promosi, meski biaya yang diberikan terbatas, respons Indonesia Kaya terhadap pelestarian pertunjukan teater patut diapresiasi.Â
Menyajikan tontonan teater secara gratis, walau hanya virtual, adalah langkah untuk mendekatkan seni ini tidak hanya pada gedung pementasan, namun memahami esensi teater itu sendiri, sekaligus dapat mengenalkan karya sastra Indonesia baru kepada generasi muda. Selain itu, rekaman teater ini pula menjadi dokumentasi yang dapat dijangkau lebih banyak orang, untuk mengakses sebuah pertunjukan.
Kehadiran konsep teater virtual seyogianya menjadi respons terhadap keadaan. Utamanya untuk menjaga eksistensi seni di muka publik, sekaligus memanfaatkan peluang wahana yang tersedia. Dua dimensi ini adalah refleksi yang patut didiskusikan lebih lanjut.
Namun, menjustifikasi ketidakbenaran pada salah satunya hanya akan meriuhkan kondisi dunia seni sebagai suatu entitas yang mewadahi profesi, sejarah, hingga refleksi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H