Istilah perubahan kini telah serupa makanan yang dicicipi oleh seluruh rakyat di dunia, dilombakan, dan yang bertahan ialah yang siap dan tanggap.
Waktu masih menjadi admin media sosial komunitas konseling, beberapa kali saya mendapat aduan tentang lingkungan kerja yang tidak suportif, dan juga pimpinan yang memperlakukan semena-mena. Ada yang proyeknya disabotase, mendapat perlakuan abusif dari bos, hingga berujung pemecatan dan sakit mental.
Narasi yang terdengar tidak mengenakkan ini, ialah kenyataan yang terjadi. Tindakan demikian sering kali diasosiasikan sebagai tantangan yang perlu dihadapi tiap orang di dunia kerja/organisasi, didukung dengan pernyataan lain, “gajinya besar juga, kan.” yang begini sebenarnya hanya pepatah usang yang perlu ditinggalkan.
Preferensi tiap orang agaknya kini perlu diberi batasan. Berdalih hak sebagai manusia, perlakuan merugikan bisa saja berwujud otoritas diri. Misalnya, karena menjadi pemimpin perusahaan, ia bebas memecat karyawan, meskipun tak sesuai kesepakatan.
Sering dijumpai juga, demi gaji, seseorang rela bertahan di lingkungan yang merugikan secara kontinu, padahal kondisi demikian sudah diketahuinya sejak hari pertama kerja. Hal-hal ini termasuk tindakan yang sebenarnya bisa dikontrol. Pemetaan cara untuk mengontrol tindakan ini, bukan upaya menghalangi preferensi, meminimalisasi bentuk kerugian dan menciptakan dunia kerja/organisasi yang sehat adalah tujuan utamanya.
Untuk melakukan kontrol, tiap orang perlu menjadi pemegang kendali/pemimpin, paling tidak untuk dirinya sendiri. Itulah tak heran mengapa narasi leadership/kepemimpinan ramai digaungkan. Ibarat benda primer, kepemimpinan kini bertansformasi menjadi kemampuan yang perlu dimiliki, bukan hanya untuk pimpinan, namun juga tiap individu yang dipimpin.
Kepemimpinan menurut Swansburg adalah suatu proses yang memengaruhi aktivitas suatu kelompok yang terorganisasi dalam usahanya mencapai penetapan dan pencapaian tujuan. Pada dasarnya kata “kepemimpinan” hanyalah sebuah konsep yang perlu didukung oleh kemampuan lain seperti komunikasi asertif, berpikir kritis, serta berorientasi pada perubahan.
Era ini mendorong siapa saja untuk menghasilkan inovasi. Lebih dari itu, kehidupan seakan menjelma sebagai perlombaan, yang tiap individunya berusaha jadi yang terbaik.
Selain penemuan baru, faktor lain yang tak kalah berpengaruh menyebabkan perubahan ialah konflik, revolusi, dan pengaruh budaya luar. Menanggapi perubahan adalah jalan panjang menuju keputusan, dan justifikasi tak berdasar bukanlah jalan awal yang harus ditempuh oleh seseorang.
Komunikasi Asertif Jadi Kunci
Sebelum mengupas lebih jauh terkait istilah ini, kita coba mengacu terlebih dahulu pada KBBI, kata “asertif” yang merupakan kata sifat diartikan sebagai tegas. Agar pemaknaan kata “tegas” tidak hanya diidentikkan dengan volume suara saat berbicara, mari lihat pendapat ahli mengenai istilah asertif ini.
Burley mengatakan bahwa asertif merupakan tingkah laku yang menunjukkan penghormatan terhadap diri sendiri dan orang lain, termasuk di dalamnya bersikap terbuka dan jujur kepada keduanya. Tegas di sini berasosiasi pada kontrol diri dan memahami orang lain, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk komunikasi.