Salah satu dunia usaha yang mengalami babak belur di masa pandemi adalah dunia film. Tidak hanya perfilman Indonesia, tapi sudah secara global mengalami banyak masalah.
Selain harus melaksanakan protokol kesehatan ketat saat produksi film, bisnis hiburan ini juga dipusingkan dengan bagaimana film mereka akan dipasarkan.
Apakah ditayangkan eksklusif di bioskop atau dilakukan secara hybrid, rilis secara online dan juga bioskop. Hidup mati film juga didasarkan hal ini.
Jelas saja, keberlangsungan jangka panjang bisnis ini tergantung bagaimana pendapatan mereka. Jangan sampai ketika film dirilis mereka malah rugi.
Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga. Garap produksi di masa pandemi tentu sangat beresiko. Jika tidak melakukan protokol kesehatan secara ketat selama produksi, tentu penyebaran virus bisa menghambat jalannya produksi.
Produksi film bisa molor. Tentunya dengan molornya penggarapan film itu berdampak pada anggaran yang digunakan akan semakin membengkak. Belum lagi masalah perilisan film.
Masalah rilis film di masa pandemi bisa menjadi masalah besar. Pertama, tidak semua bioskop di seluruh dunia sedang beroperasi. Contohnya saja Indonesia, atau Australia yang sedang melaksanakan lockdown.
Tentu keuntungan yang didapat tidak akan sebanyak sebelum pandemi. Kedua, opsi hybrid akhirnya menjadi opsi alternatif di masa wabah ini. Opsi ini pun sama, juga memiliki banyak masalah.
Ambil saja contoh Marvel saat perilisan film Black Widow yang dilakukan secara hybrid, baik rilis di bioskop maupun di layanan streaming Disney+.
Perilisan hybrid ini membuat Disney selaku pihak rumah produksi mendapatkan gugatan dari sang aktris utama, yaitu Scarlett Johansson. Dalam gugatannya, Scarlett meminta bayaran lebih karena filmnya dirilis secara hybrid.