Bagi warga perkotaan, sudah mulai jarang adanya sekumpulan remaja keliling bangunin sahur. Ini dikarenakan warga perkotaan tidak suka dengan sesuatu yang bising mengganggu mereka.
Karena hal ini pula, lama-lama tradisi itu mulai ditinggalkan. Padahal tradisi itu cukup menarik karena sangat menunjukkan budaya lokal di daerah tersebut.
Selama hidup saya, saya pernah jalani puasa di empat kota yang berbeda. Diantaranya, Surabaya, Malang, Jakarta dan Kuta, Bali.
Selama itu, saya baru bertemu sekali dengan sekumpulan remaja bangunin sahur saat berpuasa di bulan ramadan. Saya bertemu mereka saat sempat tinggal cukup lama di Jakarta.
Namun tidak semua wilayah di Jakarta ada. Saya yang kebetulan sedang magang di Jakarta, sempat berpindah-pindah tempat tinggal selama 3 bulan. Menurut saya, cukup asik.
Sedangkan di tiga wilayah lain, punya cara dan tradisi sendiri saat sahur. Tidak ada yang sama dalam membangunkan saya saat sahur. Apalagi yang menemani saya saat sahur.
Di Malang, saya tinggal di rumah saudara saya. Sebelum pandemi, sering saya liburan puasa mampir ke sini beberapa hari. Di sini, ada bunyi seperti sirene perang untuk bangunin sahur.
Awal pertama kali tahu, saya kaget. Saya kira bunyi sesuatu yang gawat. Apalagi rumah saudara dekat dengan masjid. Sehingga, suara sirine itu begitu keras.
Saya juga sempat merasakan puasa di Bali. Suasana di sini sangat tenang. Sehingga khusyu saat beribadah. Untuk bangunin sahur, tidak ada yang istimewa.
Namun yang menarik, masjid di sana tetap woro-woro saatnya sahur. Kita sama-sama tahu, mayoritas penduduk Bali bukanlah muslim. Namun, toleransinya begitu tinggi.
Di Surabaya, tempat tinggal saya, tidak pernah ada yang kegiatan atau tradisi bangunin sahur. Hanya ada tradisi dengan keluarga saya. Yaitu, rebutan nonton televisi sebagai teman sahur.