Mohon tunggu...
Tito Dipokusumo
Tito Dipokusumo Mohon Tunggu... -

Love traveling, beach lover, learning to living the liverpool way, like to eat steak and ice cream. Manager in HR Development

Selanjutnya

Tutup

Money

Kritik "Cengeng" untuk Direktur KCJ

18 Oktober 2013   10:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:23 4424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear Pak Tri Handoyo,

Saya sebagai pengguna setia KRL atau Commuter Line selama kurang lebih 8 tahun merasa tersinggung dengan statement bapak kepada media beberapa waktu lalu seperti dibawah ini:

"PENUMPANG JAKARTA CENGENG-CENGENG SANGAT DIMANJAKAN" ujar bapak kepada Tempo, Rabu 16 Oktober 2013.

Seorang mentor pernah mengajarkan kepada saya bahwa tingkat kualitas seorang pemimpin dapat dilihat dari cara ia berbicara, dengan demikian melihat cara berbicara bapak telah cukup memberi saya gambaran mengenai kualitas kepemimpinan anda seperti apa.

Yang ingin saya tanyakan ke bapak adalah:


  • Bapak ini pulang pergi kantor naik KRL atau enak-enak duduk di mobil dinas ber-ac dan ber-supir?
  • Bapak ini pernah merasakan menunggu lama kereta yang mengalami gangguan? di stasiun kumuh? dan mengorbankan waktu anda bersama keluarga di rumah?
  • Bapak ini pernah naik KRL berdiri berdempetan, tergencet sana sini dengan pendingin rusak?


Nah sekarang bapak bilang kami "cengeng" dan "manja", ini pengalaman pribadi saya sebagai orang yang anda bilang cengeng dan manja

Pak Tri, saya ini pelanggan setia KRL Serpong. Setiap pagi saya menaiki KRL dari Juramangu menuju Sudirman dan ketika malam hari berjalan sebaliknya. Rutinitias ini hampir 8 tahun saya jalankan.

Semenjak kereta ekonomi dihapus dan KRL AC di-ekonomikan, setiap pagi saya harus dengan "tega hati" mendorong dan menggencet orang di dalam kereta agar saya bisa masuk ke dalam kereta. Tidak perduli itu nenek, kakek, ibu, anak muda atau bapak, yang terpenting dorong terus kedalam hingga saya mendapatkan tempat.

Derita kami tidak berhenti disitu. Ketika berada di dalam kereta, kami harus tergencet ke kiri, ke kanan, ke depan dan ke belakang. Coba anda andaikan Pak Tri, jika orang itu adalah bapak anda? (karena fakta banyak kakek-kakek) atau itu adalah ibu anda (karena fakta banyak nenek-nenek) atau itu adalah anak perempuan anda yang sedang hamil? Mengerikan bukan?

Derita kami tidak berhenti disitu (lagi), keadaan seringkali lebih buruk karena selain tergencet ditambah pendingin (AC) seringkali mati atau rusak. Terkait ini, kemarin saya baru mengalami kejadian mengerikan.

Saya naik KRL Serpong dari Tanah Abang sekitar pukul 17:45. Kondisi kapasitas seperti biasa, penuh sesak dan berdempetan. Ketika pintu kereta tertutup tiba-tiba pendingin rusak dan mati. Derita kami tidak berhenti disitu, ketika kereta akan memasuki Pondok Ranji tertahan lama sekali.

Dalam keadaan sesak dan pengap seperti itu, kaca jendela di dalam kereta tidak bisa kami buka meskipun telah dipaksa sekuat tenaga. Seketika penumpang panik, terutama ibu-ibu karena tidak bisa bernapas. Disamping saya ada ibu yang mulai sesak asma karena dalam kondisi panik dan kurang oksigen. Sebagian bapak-bapak ada yang berusaha membuka pintu dengan paksa bahkan memecahkan kaca dengan paksa. Tapi seluruh usaha itu gagal.

Coba anda andaikan Pak Tri, anda berada dalam kereta, penuh sesak, pendingin mati, tidak ada kipas, pintu tidak bisa dibuka dan kaca tidak bisa dibuka. Bayangkan sulitnya anda bernapas, bayangkan bagaimana tiba-tiba anda panik karena takut sesuatu yang buruk akan terjadi kepada anda.

Setelah menunggu sekian lama akhirnya kereta berjalan, sesampai di Juramangu saya hanya menyampaikan rasa sukur kepada Tuhan karena nothing worst happen. Hebatnya lagi, para penumpang "manja" ini tidak mengeluh kepada pegawai stasiun, kami semua tetap berjalan seakan normal meskipun kami  baru saja mengalami kejadian mengerikan.

Berkaca kepada pengalaman itu, saya menyakini bahwa KRL ini adalah accident waiting to happen (semoga keyakinan ini tidak terbukti). Seperjalanan pulang, jadi agak miris hati mengingat kami mempercayakan nyawa kami kepada pemimpin yang bahkan tidak bisa berempati kepada kami dan menghakimi kami manja dan cengeng.

Derita rutin kami pelanggan setia KRL tetap tidak mengurangi "kadar waras" kami. Kami tidak pernah rusuh, bahkan mengeluh saja tidak dan kalaupun mengeluh semua pasti lewat jalur resmi.

Nah sekarang, anda bilang kami cengeng dan minta disuapi, ini statement anda ke tempo ""PETUNJUK PENUMPANG SUDAH DIPASANG. JANGAN TERUS DISUAPI, SEMUA SUDAH MEMAKAI SMARTPHONE"

Saya jadi miris dan sedikit tertawa ketika membaca ini. Ketahuan sekarang anda pasti tidak pernah melongok laman dan isi twitter dari KRL Jabodetabek buatan orang anda sendiri.

Di laman itu pak, kami para pelanggan setia KRL yang memakai smartphone, selalu rajin mengecek dan mengupdate status keberangkatan kereta dan keaktifan kami itu pasti cukup membantu administrator twitter tersebut. Dari kegiatan saling berbagi informasi diantara kami ini, kami jadi mengetahui "oh di Bogor ada kereta nyerempet Avanza" "oh di Serpong ada rel patah" "oh di Serpong ada gangguan signal". Update berita itu justru kami peroleh dari forum twitter dan bukan dari manajemen bapak. Jadi disuapi apa toh?

Terkait informasi jadwal keretapun, hampir di semua stasiun pak jadwal itu dipampang dalam kertas ukuran A4 dengan tulisan kecil-kecil. Kalaupun disebar ke pelanggan itu tidak gratis tapi beli. Jika saja tim bapak mau "berpikir lebih keras" mereka bisa kok majang spanduk besar dengan tulisan besar dengan hanya memampang jadwal kereta di jam sibuk. Mengapa? karena itulah yang digunakan oleh banyak orang jadi itu pasti membantu kami banget sebagai pelanggan setia.

Terus anda membandingkan dengan Singapura? itu seperti membandingkan mobil angkot Cary dengan Toyota Alphard. Di Singapura, apa iya stasiunnya kumuh seperti disini? apa iya kapasitas stasiunnya kalah dengan jumlah penumpang? apa iya pemimpinnya tega hati menghakimi pelanggan itu manja dan cengeng? apa iya kualitas dan kapasitas keretanya seperti KRL di Jakarta? Sepengetahuan saya, manajemen di Singapura jauh lebih berorientasi kepada pelanggan daripada manajemen disini.

Yang menyedihkan adalah anda menggunakan analogi ibu hamil. Coba anda diam-diam melongok ke Stasiun Dukuh Atas di pagi hari. Itu ratusan orang di saat bersamaan saling berebut menaiki eskalator yang sempit dan mati. Singkat kata, kapasitas tidak sesuai dengan jumlah. Jadi wajar gak Pak Tri kalau ibu hamil protes jika eskalatornya tidak jalan? bayangkan itu anak perempuan anda, mengerikan bukan membayangkan bagaimana ia harus berebut naik eskalator mati, digencet sana sini, menaiki eskalator yang curam, berdesakan, mengerikan bukan membayangkan nasib kandungan tercintanya?

So, apanya yang dimanja? toh kami selalu pasrah menerima naik KRL tua dengan pendingin rusak, dengan jadwal rajin telat, dengan jumlah gerbong tidak sesuai kapasitas, dengan harus berdesakan dan bersesakan, dengan standar keamanan gak jelas, jadi itu manja?

So, apanya yang disuapi? toh selama ini kami saling mengupdate status dan informasi diantara kami sendiri tanpa bantuan dari manajemen anda

Sepengetahuan saya, menjadi pemimpin dari suatu perusahaan transportasi itu harus total berorientasi kepada pelanggan. Sikap berempati kepada pelanggan mutlak diperlukan dan anda sebagai Direktur Utama harusnya lebih paham mengenai ini.

Statement anda justru mencerminkan betapa jauh anda dari realitas akar rumput di bisnis yang anda pimpin. Andaikan anda bisa merasakan derita kami sebagai pelanggan di industri monopoli ini. Betapa tidak berdayanya kami karena tidak memiliki bargaining position terhadap perusahaan anda. Derita kami semakin bertambah dengan adanya fakta bahwa menteri BUMN dan Pejabat Dephub pun selalu membela anda mati-matian dan seakan yang salah itu adalah kami, si pelanggan manja dan cengeng.

Sekedar saran dari akar rumput nih Pak Tri, kalau Commuter memang ingin menjadi lebih baik, bisa dimulai lho dengan direksi terutama anda memutuskan tidak lagi menggunakan mobil dinas melainkan menggunakan KRL sebagai sarana pulang pergi kantor. Coba anda terus naik KRL di jam sibuk sampai anda pensiun menjabat. Ikutlah merasakan penderitaan kami, ikutlah merasakaan kemanjaan kami dan dengan begitu anda pasti akan mampu memimpin PT KCJ ke arah lebih baik.

Sekian uneg-uneg kekecewaan saya. Saya tidak pernah mengeluh pak dengan KRL, namun statement bapak di Tempo cukup membuat tensi darah naik dan sebagai pelanggan setia KRL saya benar-benar tersinggung sehingga merasa perlu menulis ini. Apakah itu berarti saya cengeng pak? Jika iya silahkan saja anggap ini hanyalah sebuah "kritik cengeng".

Salam

Pelanggan Setia KRL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun