Mohon tunggu...
Titiw Akmar
Titiw Akmar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Passionate Blogger | Teh Kotak Lover | Social Media Junker | Light Traveler | Heavy Reader | Green Thinker | a Writer Not a Fighter.\r\nSehari2 ngeblog di www.titiw.com dan ngetwit di @TitiwAkmar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Mainstream? Tidak Berdosa!

2 Februari 2014   20:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:13 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di jaman yang sudah gegar bahasa ini, makin banyak kata-kata yang mengalami penurunan makna. Kalo saya mah emang turunan cakep, tapi kalo di tanjakan jelek lagi. Okeh tidak usah diperpanjang, kembali ke bahasan. Misalnya saja kata galau yang menjadi kuncian para "alay" untuk mencari perhatian. Saya sendiri sampe malu memakainya lagi dalam percakapan sehari-hari. Padahal kata tersebut sangat indah dirangkai dalam puisi-puisi cantik yang mengisi halaman-halaman majalah Horison ataupun diary jaman dahulu. Ada lagi satu kata berbahasa inggris yang sudah jamak dipakai di sini, yaitu: Mainstream. Coba saja tes bilang begini ke temen kamu: "Woi, lo jadi orang mainstream bener sih!", haqul yakin deh kalo si temen bakal keki dan gak mau dianggep mainstream. Padahal, apa salahnya sih jadi mainstream? Sejak kapan jadi mainstream itu dosa? Selama yang mainstream itu benar, kenapa harus malu atau dinyinyiri? Dari tadi saya udah kayak orang Jawa aja, ngomong ngalor ngidul kiri kanan depan belakang. Padahal, fokus pembicaraan saya itu sebenernya adalah hobi-hobi yang mulai jadi mainstream. Misalnya saja circa 2009-2011, hobi sepedahan lagi menjamur dan jadi mainstream. Lalu sekitar dari 2011 hingga sekarang, orang-orang lagi hobi lari dan makin banyak event lari yang mengusung tema sehat dan charity. 5K, 10 K, half marathon, bahkan hingga full marathon. Tren Yoga-Pilates serta minum smoothies dan makan segala yang berbau organik juga sudah marak dari beberapa saat yang lalu. Seumur hidup saya tinggal di Jakarta, harus saya akui bahwa kegiatan mainstream tersebut adalah hal yang paling positif dan sehat yang pernah saya tahu. Jaman saya kecil, hobi itu seputar tukeran komik Jepang, hobi main sepatu roda di dalem kompleks sampe dengkul bonyok, ataupun hobi filateli a.k.a koleksi perangko yang mana ujung-ujungnya berantem sama temen. Saya sendiri pernah kok menjadi bagian dari kelompok mainstream itu, Buktinya tahun 2009 saya beli sepeda dan mulai melanglang sendiri di dalam Jakarta, ataupun berjamaah hingga ke Bogor atau hanya ke Ancol. And I felt good. Kenapa saya bilang "pernah"? Karena layaknya suatu aliran, saya sepertinya sudah didepak dari agama persepedahan karena sudah nggak pernah lagi melakukannya sejak cidera lutut yang mendera tahun lalu. Bagaimana menurut kamu dengan hobi-hobi ini? Ada yang ikutan "mainstream" menjadi bagian dari kategori-kategori tadi, ada juga yang nyinyir. "Lah hari gini baru main sepeda?" "Eh buset, ngapain dibela-belain lari doang pake sepatu jutaan?" "Itu lari-lari gitu cuman ngejar medali aja ikut-ikutan apa emang ngejar sehatnya?" "Ngapain lari melulu kalo nggak ada yang ngejar?" *oke, kalimat yang terakhir mungkin menusuk sukma para jomblo* DUDE, WHAT IS YOUR PROBLEM?! Kalopun orang itu lari untuk ikut-ikutan doang, so what? Dia tetep dapet manfaat kok dari lari yang "ikut-ikutan" itu. Elo ngerasa lebih keren karena lo udah sepedahan dari tahun 84 dan nyinyirin orang yang baru ngerakit sepeda dan ikutan Bike to Work? Saya kadang ngelihat komen-komen yang tebal dengan sentimen di Instagram Agni Pratistha ketika ia ikut Marathon di negara lain (yes, Putri Indonesia kita yang cantik dan segar bugar itu). Bo, lo cuma di Jakarta duduk depan laptop sambil makan Lays rumput laut dan komen nyinyir ke orang yang abis marathon dengan jarak Jakarta - Bogor? Biarin ajalah orang ikut-ikutan dulu, semoga dengan ikut-ikutan yang positif, hal itu bisa menjadi habit baik yang dapat ditularkan ke orang lain. [caption id="" align="aligncenter" width="265" caption="Event sepedahan tahun 2011"]

[/caption]

Jika dianalogikan dengan menyumbang, saya lebih suka Ibu-ibu dengan dandanan menor yang cuap-cuap kalo dia abis nyumbang sebuah panti asuhan daripada orang yang cuma bisa ngatain si Ibu menor tanpa dia berbuat sedikitpun untuk sesama. Karena dampak yang ngerasain ya si orang yang disumbang, emang mereka peduli si Ibu itu Riya atau nggak? Sama kasus dengan hobi mainstream ini. Mau ikut-ikutan biar Path diisi dengan foto-foto keringet netes abis lari keliling Senayan 243 kali kek, mau dia sungguh-sungguh beneran cari sehat kek, dampak ke dirinya itu ya sama: SEHAT. Ya kalo kata orang orde baru dulu mah, men sana in corpore sano. Lo main ke sana gw main ke sono. Dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Jadi mungkin situ yang selalu nyinyir kurang olahraga tuh, soalnya jiwanya kayak labil gitu. Pesen saya buat mereka yang melakukan hobi mainstream: "Merasa dijudge? Biarin aja. Orang bebas untuk ngejudge. Itu tugas kalian untuk membuktikan apakah tuduhan mereka benar atau tidak". Selamat bersehat-sehat ria, selamat melakukan hobi mainstream. Selamat malam. PS: Tulisan lebih banyak bisa dibaca di www.titiw.com :)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun