Mohon tunggu...
Titis Setyabudi
Titis Setyabudi Mohon Tunggu... Angon Kahanan -

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Media Sebagai Penjaga Toleransi

8 November 2014   16:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:19 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rentetan peristiwa ketidakrukunan antar pemeluk agama kembali menggoyang Jogja beberapa waktu lalu. Setelah penyerangan di dusun Tanjungsari, kejadian yang sama terjadi di Pangukan. Peristiwa ini adalah ironi dari kesan tentang Jogja yang toleran dalam keberagaman dan sebuah paradoks dari apa yang baru saja diterima gubernur DIY dari Jaringan Antariman Indonesia sebagai kepala daerah yang peduli pada kebebasan beragama.
Kekerasan apapun bentuknya tentu tidak bisa diterima untuk menyelesaikan sebuah masalah. Kekerasan siapapun yang melakukannya akan memberi karma yang negative pada pelakunya. Kekerasan yang dilakukan oleh individu atau kelompok akan membawa mereka pada sebuah titik nadir. Pelaku kekerasan akan dicap sebagai orang yang tidak bisa menggunakan akalnya, tidak bisa mengendalikan diri, tidak berperadaban dan sebagainya.
Sikap toleran perlu ditanamkan sejak dini baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat yang lebih luas. Media mempunyai peran sentral dalam mendidikan masyarakat tentang toleransi. Media sebagai salah satu pilar dalam demokrasi ditantang untuk tidak berpihak pada kelompok manapun. Suguhan informasi oleh media harus bisa mengajak pembacanya untuk berpikir kritis terhadap peristiwa yang terjadi; apa yang sebenarnya terjadi, mengapa sebuah peristiwa terjadi dan pertanyaan-pertanyaan kritis lainnya.
Informasi yang Seimbang
Sehari setelah kejadian di Pangukan, dari sekian banyak media cetak yang beredar di Jogja hanya ada empat Koran yang menampilkan berita tentang peristiwa ini di halaman muka mereka: satu Koran nasional dan tiga Koran lokal Jogja salah satunya koran yang masih dalam satu grup dengan Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi.
Dari keempat koran yang terbit senin, 2 Juni 2014 secara bersamaan menempatkan kekerasan sebagai point yang ingin ditonjolkan dengan tujuan agar kelompok yang melakukan kekerasan menyadari kesalahannnya dan masyarakat tahu itu bukan sebuah tindakan yang benar. Hal ini wajar karena kekerasan bukan sebuah solusi. Yang menarik adalah keempat koran tersebut secara berbeda menuliskan tentang bangunan di Pangukan yang digunakan untuk melakukan peribadatan. Ada yang menulis bahwa bangunan itu biasa digunakan untuk beribadah, ada yang menyajikan bahwa bangunan itu adalah tempat tinggal yang sudah lama disegel dan baru digunakan untuk peribadatan sesaat sebelum penyerangan terjadi.
Demikian juga dengan penulisan judul artikel. Ada Koran yang member judul tulisannya dengan dengan menggunakan kata darurat untuk toleransi di Jogja. Ada yang secara cerdas menampilkan dua sisi potensi yang dimiliki Jogja; walaupun ada tindakan intoleransi tapi rasa toleran warga Jogja melebihi itu. Ada yang membuat judul yang seimbang antara peristiwa yang terjadi dengan penyebabnya, ada menuliskan pesan bupati Sleman untuk menjaga kerukunan disatu sisi dan menaati peraturan disisi yang lain. Kedaulatan Rakyat memberitakan informasi secara seimbang terbukti pada terbitan Selasa, 10 Juni 2014 halaman tujuh memberitakan tentang informasi dari warga dusun Pangukan yang menolak tudingan intoleransi dengan berbagai alasannya.
Penegakan Hukum
Muara dari setiap kejadian di negeri ini sebenarnya ada pada penegakan hukum. Penegakan hukum yang lemah menghasilkan orang-orang yang kecewa. Kekecewaan tersebut terakumulasi dan memerlukan penyaluran. Kalau penyalurannya positif akan menghasilkan langkah-langkah yang konstruktif dan bermanfaat misalnya dengan membuat tulisan atau memberdayakan kelompok masyarakat untuk mengembangkan diri atau kegiatan lain yang diterima masyarakat dalam teori defense mechanism masuk kategori sublimation.
Bagi yang tidak bisa mengendalikan diri kekecewaan itu bisa bersifat merusak, seperti apa yang terlihat dalam kasus Pangukan dan kasus yang lain. Proyeksi ini sangat berbahaya karena kekecewaan mereka terhadap penegakan hukum akan dilampiaskan kepada kelompok yang menurut mereka membuat hukum mandul. Dalam perspektif yang lebih luas kalau hal ini dibiarkan akan ada anggapan bahwa orang bisa melakukan apa saja termasuk menyerang toh hukum tidak berdaya.
Hukum harus menjadi panglima dalam segala lini kehidupan. Kalau ada sekelompok orang menyerang kelompok yang lain, hukum harus hadir disana. Kalau ada pelanggaran ijin peruntukan bangunan misalnya rumah tinggal untuk tempat beribadah, hukum juga harus meluruskan kesalahan tersebut.
Akhirnya, sebuah peristiwa tidak akan berdiri sendiri. Selalu ada rangkaian sebab yang melatarbelakanginya. Media harus berperan untuk mencerdaskan pembacanya sekaligus mengawal toleransi. Hukum harus hadir menyelesaikan segala permasalahan yang hadir di tengah masyarakat untuk menjamin toleransi itu terjaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun