Mohon tunggu...
Titis Setyabudi
Titis Setyabudi Mohon Tunggu... Angon Kahanan -

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gegar Budaya Anak Bangsa

4 Mei 2015   10:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:24 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berita tentang pesta bikini yang kontroversial untuk anak-anak SMA yang baru menyelesaikan Ujian Nasional mengundang komentar dari berbagai pihak; baik dari pihak sekolah yang namanya dicatut secara illegal, KPAI, wakil gubernur, bahkan para menteri. Pesta yang bertajuk “Splash After Class” yang diselenggarakan EO Divine Production dan Hotel Media and Towers memunculkan banyak pertanyaan tentang pendidikan budaya, karakter, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Institusi keluarga, sekolah, dan masyarakat tercoreng oleh sebuah kegiatan yang dilakukan orang yang tidak bertanggung jawab, hanya mengejar keuntungan materi dengan menawarkan pemujaan syahwat.

EO Divine Production dan Hotel Media and Towers mengadakan kegiatan ini tentu bukan tanpa perhitungan. Mereka tahu bahwa pesta mereka ada konsumennya. Konsumennya adalah anak-anak muda yang gegar budaya, tidak mengenali budayanya sendiri. Mereka tercerabut dari asal usulnya. Mungkin saja mereka bukan tidak mengenal budayanya tapi tidak dikenalkan. Mereka korban dari apa yang sedang terjadi di keluarganya, masyarakatnya.

Apa yang terjadi mungkin hanya fenomena gunung es yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Generasi muda mulai meninggalkan identitas budaya mereka karena ada budaya lain yang lebih menarik karena diiklankan setiap hari melalui televisi, koran, dan internet tanpa mereka sadar bahkan mungkin orang tua mereka juga tidak sadar. Sementara budaya dan karakter bangsa yang berasal dari kumpulan nilai-nilai lokal terpojok jauh dari sentuhan-sentuhan pemangku kebijakan. Kalaupun dicoba untuk diangkat hanya sebatas seminar-seminar milik para ilmuwan untuk kepentingan pengumpulan kredit.

Kebanggaan Semu

Budaya, karaker, dan nilai-nilai yang menjadi ciri bangsa perlu ditanamkan sejak masih anak-anak. Perlu ditanamkan kebanggaan menjadi orang Jawa, orang Madura, orang Bali, orang Sunda, orang Dayak dll. Sudah mulai jamak ditemui keluarga-keluarga muda mengajarkan bahasa kepada anaknya bukan bahasa ibu, bahasa yang mereka dapatkan pertama kali untuk berkomunikasi. Misalnya keluarga muda Jawa tidak mengajarkan bahasa Jawa kepada anak-anak mereka takut anak-anaknya akan medok kalau berbahasa Indonesia. Padahal dengan mengajarkan ke-Jawa-an, ke-Madura-an, ke-Dayak-an berarti kita sedang melanggengkan Indonesia raya. Maka keluarga adalah institusi pertama yang harus menanamkan budaya, nilai luhur yang dimiliki bangsa ini kepada anak-anak.

Mendidik anak adalah seni tersendiri. Tidak ada formula yang generik, bisa diterapkan secara umum. Terlalu memanja anak salah, terlalu mengekang juga tidak pas. Anak kadang perlu dibekali dengan tantangan-tantangan karena itu akan menguatkannya bukan sebaliknya, seperti apa yang disampaikan Robert A. Heinlein “Don't handicap your children by making their lives easy.”
Kurikulum 2013 yang salah satu tujuannya untuk membangun karakter bangsa menemui relevansinya pada kasus pesta bikini ini. ini yang dikhawatirkan oleh para bijak ketika menggodok kurikulum karakter tersebut. Karena yang namanya budaya, nilai bukan hanya berada di ranah kognitif tapi juga berada di area afektif dan psikomotor. Sekolah tidak hanya menjejalkan pengetahuan kepada siswanya, sekolah harus menjadi institusi yang berperan melanggengkan budaya bangsa melalui penanaman budaya dan nilai bangsa kepada anak didiknya.

Hillary Clinton pernah berucap, untuk mendidik anak perlu orang sekampung. Seandainya keluarga sudah mendidik anaknya dengan nilai-nilai kebaikan, sekolah juga sudah berperan maksimal terhadap siswanya tapi masyarakatnya tidak kondusif terhadap penanaman nilai ini, maka semuanya akan sia-sia. Masyarakat juga perlu pemahaman yang serupa dengan keluarga dan sekolah.

Institusi keagamaan juga harus bekerja keras dalam perannya sebagai pemegang otoritas kebaikan. Agama terreduksi kepercayaannya di tengah-tengah masyarakat karena banyaknya kekerasan oleh kelompok-kelompok yang terang-terang mengatasnamakan agama tertentu. Langsung maupun tidak langsung kekerasan tersebut mempengaruhi orang untuk melihat institusi agama dengan pandangan yang berbeda. Kalau sudah seperti ini, tidak heran anak-anak muda lari dari nilai-nilai relijiusitas karena kepercayaan yang luntur terhadap institusi agama.

Di atas itu semua keluarga menjadi garda awal untuk menyemaikan bibit-bibit nilai, karakter, budaya luhur yang dimiliki bangsa ini. Kalau setiap keluarga mampu melakukannya, maka generasi-generasi yang akan dating akan menjadi generasi yang bangga dengan identitasnya, asal-usulnya, dan budayanya. Bukan generasi yang gamang dengan budayanya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun