[caption id="" align="aligncenter" width="200" caption="Jogja Kota Sepeda (https://titisekar.files.wordpress.com/)"][/caption]
Di Jogja sampai sekitar tahun 1980an, sepeda masih menjadi alat transportasi yang merajai jalanan kota tercinta ini sehingga kota ini dijuluki kota sepeda. Sebelum akhirnya seperti yang kita lihat sekarang ini motor dan mobil mengambil sebagian besar, kalau tidak semuanya, ruas jalan-jalan utama di kota Jogja. Awal tahun 1990an masih bisa ditemui kelompok besar warga dari arah Bantul bersepeda berangkat bekerja menuju kota Jogja pada pagi hari. Hal itu tidak bisa ditemui sekarang.
Bergesernya penggunaan sepeda yang digantikan kendaraan bermesin membuat ritme kehidupan bergerak lebih cepat. Jalan-jalan dipadati oleh kendaraan bermotor khususnya pada jam berangkat dan pulang kerja atau sekolah. Kemacetan tidak terelakkan, yang membuat petugas lalu lintas kewalahan. Hal ini diperparah dengan kondisi jalan yang relatif sempit. Kondisi tersebut membuat pengguna jalan mengalami tekanan mental atau stress.
Romantisme kota sepeda sebenarnya mendapatkan momentum ketika walikota Herry Zudianto memprakarsai program Sego Segawe (Sepeka Kanggo Sekolah lan nyambut Gawe) yang diluncurkan pada tahun 2008, dibuat ruang khusus di jalan untuk para pengguna sepeda, para pegawai negeri diwajibkan menggunakan sepeda untuk bekerja, di lanjutkan dengan himbauan kepada khalayak yang lebih luas. Kemudian muncul komunitas-komunitas pengguna sepeda yang lebih masif. Tapi demam ini mati suri seiring lengsernya walikota Herry Zudianto. Memang diperlukan enforcing spirit dari pihak-pihak pemegang kebijakan untuk mewujudkan mimpi ini.
Sebuah studi menunjukkan bahwa naik sepeda membuat orang lebih bahagia dari pada mengendarai kendaraan bermotor. Kopenhagen di Swedia menjadi kota yang penduduknya paling bahagia di dunia salah satu faktornya penyebabnya adalah sepeda menjadi moda transportasi utama di kota ini. Sepeda menggantikan peran kendaraan bermesin.
Karena sepeda menjadi alat transportasi utama maka polusi menjadi minim, kemacetan berkurang, dan tingkat stress akan turun. Ini bukan hal yang tidak mungkin untuk diwujudkan di kota Jogja. Ada beberapa alasan untuk mewujudkannya. Pertama, Jogja semakin macet. Jam berangkat dan pulang sekolah atau kerja adalah waktu yang menyiksa berada di jalanan. Belum lagi kalau akhir pekan atau liburan, kemacetan pertigaan maguwoharjo bisa sampai pertigaan bandara Adi Sucipto. Kedua, ruas jalan sempit dan sulit untuk diperlebar karena sudah mepet dengan bangunan. Kalaupun bisa diperlebar akan memakan waktu yang lama dan biaya tidak sedikit ditambah konflik yang tidak mudah.
Berikutnya, jumlah kendaraan bermotor yang tak terkendali. Dengan semakin mudahnya cara pembelian kendaraan bermotor maka kepemilikannya juga semakin bertambah. Sementara ruas jalan tidak bertambah. Alasan selanjutnya, kendaraan bermotor cenderung membuat penggunanya khususnya anak muda mengebut yang menyebabkan kecelakaan. Peringatan Polantas DIY di perempatan Gamping: setiap hari terjadi 3 kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pelajar. Keenam, kejahatan yang menggunakan kendaraan bermotor khususnya sepeda motor semakin marak, baik penjambretan, pencurian, perampokan, penyerangan dilakukan menggunakan motor.
Kota Jogja kota sepeda (lagi) bisa diwujudkan. Ada beberapa faktor yang bisa menjadikannya nyata. Pertama, dukungan kebijakan dari pemerintah. Perlu dorongan yang sangat kuat dari pemegang kekuasaan untuk mempelopori program ini seperti yang sudah dilakukan walikota Jogja sebelumnya. Kedua, masyarakat Jogja adalah masyarakat terdidik. Banyaknya kampus dan sekolah di Jogja membuat masyarakatnya lebih terbuka pikirannya dan dapat diajak berpikir logis. Ketika ditawarkan sebuah program yang bermanfaat sejauh program itu dikemas selogis mungkin pasti akan bisa diterima.
Selanjutnya, komunitas-komunitas pemakai sepeda didorong untuk tumbuh semakin menjamur. Komunitas yang sudah ada perlu membuka diri untuk anggota baru yang semakin beragam. Penyelenggaraan temu komunitas pengguna sepedea perlu dijaga keberlangsungannya. Pertemuan komunitas sepeda setiap malam sabtu di alun-alun Jogja bisa menjadi embrio kegiatan yang serupa. Menumbuhkan rasa bangga bersepeda dari pada naik kendaraan adalah faktor berikutnya. Kebanggan ini perlu dijadikan virus di masyarakat. Kebanggan ini ditanamkan sejak dini. Mengajak anak-anak bersepeda dengan keluarga membuat mereka akan mempunyai pengalaman tentang bersepeda dan manfaatnya. Kurikulum di sekolah perlu juga membekali siswanya tentang menfaat bersepeda. Sehingga anak-anak muda semakin percaya diri memakai sepeda untuk segala keperluan. Sampai pada suatu saat mereka akan berkata, “Gini hari pake motor”, “Naik sepeda, keren”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H