[caption id="attachment_315010" align="aligncenter" width="510" caption="Image Source : http://en.aectourismthai.com/images/blog/content1/20130207115027.jpg"][/caption]
Setahun lagi menuju ASEAN Free Trade Area (AFTA). Menyadari posisi geografis negara-negara Asia Tenggara yang menjadi persimpangan lalu lintas perdagangan antar benua serta kekayaan alam bumi tropis yang melimpah, ASEAN (Association of South East Asia Nations) memprakarsai kerja sama tingkat regional untuk mendukung terwujudnya pasar bebas. Tujuan dibentuknya AFTA tentu saja untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN. Salah satu langkah bersama yang disepakati adalah pengurangan tarif bea masuk komoditi perdagangan antar negara yang diharapkan menjadi katalis dalam efisiensi aktivitas jual beli antar negara. Dilihat dari perspektif konsumen, pasar bebas akan memberikan variasi lebih terhadap pilihan barang yang akan dibeli.
Pada tulisan sebelumnya, saya menjabarkan sekilas tentang persiapan yang dilakukan ASEAN dalam menghadapi era perdagangan bebas dengan mebentuk ASEAN Economic Community (AEC). Ada banyak hal yang harus dicermati Indonesia untuk menyiapkan langkah selanjutnya dari segi peningkatan daya saing produk maupun sumber daya manusia karena tidak bisa dipungkiri persaingan akan semakin dekat.
Bagaimana dengan kesiapan negara tetangga?
Mari kita jalan-jalan ke tiga negara Indocina yaitu Singapura, Malaysia, dan Thailand. Ini berdasarkan observasi pribadi selama terjun dalam dunia inisiasi ekspor produk makanan beberapa bulan terakhir.
Singapura : Pelabuhan Dunia
Republik yang terletak di ujung Semenanjung Malaka ini luas wilayahnya hanya 710.2 km2 sedikit lebih besar dari Jakarta. Kesamaan antara Singapura dan Jakarta adalah fungsinya sebagai kota pelabuhan. Akan tetapi, infrastruktur dan sistem di Singapura jauh lebih mendukung untuk dijadikan sebagai pusat perdagangan. Saya sempat berbincang-bincang dengan warga New Zaeland dan Belanda yang lebih memilih tinggal di Singapura untuk menjalankan bisnisnya yang tersebar di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam dengan alasan kemudahan akses dan transparansi informasi.
Segala perizinan produk makanan yang akan masuk ke Singapura semua difasilitasi secara online. Mulai dari pendaftaran produk, klaim label (seperti produk rendah gula atau rendah lemak), regulasi tentang bahan tambahan makanan, semuanya mudah dan murah, cukup sekali klik. Menariknya lagi, di website tertera apabila tidak ada konfirmasi dalam 48 jam, kita berhak untuk mengajukan komplain.
Singapura telah menata kotanya sedemikian rupa sehingga nyaman untuk tempat singgah. Sarana transportasi, edukasi, hiburan, dan perbelanjaan tersedia lengkap. Mereka mengklaim sebagai “The Most Dynamic City in Asia”. Jika berminat memulai ekspor, ketersediaan produk di Singapura bisa menjadi awal positif untuk pasar di Asia Tenggara.
Perlahan dan pasti, pemerintah Indonesia memulai reformasi birokrasi untuk meningkatkan pelayanan. Salah satu wujudnya antara lain layanan One Day Service yang mulai dijalankan oleh beberapa instansi. Diharapkan kenyamanan akan pelayanan publik dapat menarik para investor untuk menyuntikkan dananya.
Malaysia : Pusat Sertifikasi Halal
Negara tetangga yang terpisah Selat Malaka ini dinobatkan sebagai “Top of The Wolrd’s Favorite Destinations for Muslim” oleh sebuah lembaga survei di Singapura. Malaysia adalah negara monarki konstitusional yang menerapkan syariah Islam dalam sistem pemerintahannya. Di wilayah ASEAN, negeri jiran paling serius memposisikan diri sebagai pusat makanan halal. Mulai dari globalisasi sertifikasi halal sampai dengan regulasi yang mengatur pedoman industri. Pemerintah Malaysia juga aktif memberikan skema insentif guna mendukung pengembangan industri halal melalui hibah fasilitas.
Menurut pengakuan teman saya, seorang Key Account Exporter dari sebuah perusahaan makanan di Spanyol yang akan melakukan ekspansi pasar ke Asia, proses sertifikasi halal di Malaysia adalah yang paling ketat di antara negara-negara lain. Ini merupakan komitmen perlindungan konsumen yang patut ditiru Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim tertinggi di dunia. Ketika menghadiri International Halal Expo akhir tahun 2013 lalu, saya bertemu dengan pelaku di lembaga sertifikasi halal dari berbagai negara seperti Thailand, Jepang, dan Australia yang ternyata orang Indonesia. Artinya dilihat dari kemampuan sumber daya manusia, Indonesia berpotensi untuk menggarap isu dan tantangan seputar pangan halal bukan sekedar dijadikan pasar bagi produsen luar negeri.
Thailand : Dapur Dunia
Pecinta buah tentunya akrab dengan durian bangkok. Varietas satu itu memang terkenal memiliki daging yang lebih tebal dengan tekstur lembut. Selain durian ada juga daging ayam dan pepaya dengan embel-embel “bangkok” yang juga menjadi favorit karena identik dengan produk berukuran lebih besar dan rasa lebih enak. Hal ini adalah salah satu keberhasilan branding image yang dilakukan oleh Thailand. Pada awal tahun 2000-an, Thailand telah mengklaim negaranya sebagai lumbung padi dunia atas keberhasilannya menduduki peringkat pertama pengeskpor beras. Kini, Thailand memposisikan negaranya sebagai Kitchen of The World. Selain kualitas komoditi pertaniannya, negeri yang terkenal dengan sebutan gajah putih itu juga fokus menggarap pangan olahan. Sewaktu product pitching untuk inisiasi ekspor ke Thailand, saya mengetahui pasar makanan bersaing ketat di sana. Berbagai macam produk pangan tersedia, baik dari segi bahan yang digunakan, kemasan, ukuran penyajian, bahkan fungsi dan manfaat bagi kesehatan. Tentunya ini tantangan bagi produsen untuk terus melakukan inovasi produk.
Thailand yang identik dengan budaya kerajaan memadukan kearifan lokal atas tradisinya untuk membentuk keunikan kuliner yang disajikan untuk konsumen global. Ketika Indonesia sedang gencar meningkatkan produksi untuk mencapai misi swasembada, Thailand sudah melangkah setahap lebih cepat dengan mengusung isu pertanian organik demi memenuhi kebutuhan gaya hidup sehat masyarakat. Indonesia pun punya komoditi unggulan seperti apel malang, jeruk pontianak, ubi cilembu, juga sapi bali yang tidak kalah dengan Thailand. Lebih lanjut, untuk mendukung upaya pemasaran sepertinya kita memang harus banyak belajar dari mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H