Berjarak 10 bulan sejak tiket promo dipesan, akhirnya perjalanan menuju puncak tertinggi gunung berapi nomor dua di Indonesia tercapai. Demi Rinjani, saya merancang cuti dan mempersiapkan diri. Rombongan kali ini terdiri dari 8 orang, setengahnya dari Jakarta yaitu saya, Lisa, Mamo, dan Rissar. Farid menunggu di Mataram bersama Tulad yang datang dari Makassar juga Kadek dan Putu dari Bali. Rombongan dari Mataram menjemput rombongan Jakarta di Pelabuhan Lembar, Lombok. Tim pendakian kali ini didampingi Pak Adi, penduduk asli Lombok yang menjadi guide kami.
Jalur pendakian dipilih dari Sembalun dengan medan padang terbuka penuh ilalang. Kami memulai perjalanan pukul 7 pagi, ada total 4 pos sampai camping ground di Pelawangan Sembalun yang harus dilewati. Perjalanan diawali dari lokasi bercocok tanam penduduk desa dan penggembalaan ternak. Banyak sapi bali merumput di bukit. Pos 1 dicapai satu jam kemudian. Begitu juga dengan Pos 2 yang masih terletak di sabana dengan waktu tempuh tidak berbeda jauh dari sebelumnya. Menurut informasi Pak Adi, padang sabana ini kerap membuat pendaki tersesat karena banyak yang gegebah mengambil jalan pintas saking semangatnya melihat puncak Rinjani seolah dekat.
Sudah lewat tengah hari ketika kami tiba di Pos 3 dan beristirahat makan siang. Jalur pendakian setelah Pos 3 disebut dengan Bukit Penyesalan harus dilalui. Ceritanya, jalur ini membuat banyak pendaki merasa kepalang tanggung. Kalau turun sudah jauh, sedangkan jarak ke puncak semakin menanjak. Itulah kenapa dinamakan Bukit Penyesalan. Selama melalui jalur tersebut jujur saya berusaha seminimal mungkin melihat ke atas. Tanjakan dan bukit seolah tidak ada habisnya, membuat mental ciut. Putu sudah memimpin di depan karena terobsesi mengejar matahari terbenam, saya dan Kadek menyusul. Tim terpecah menjadi tiga. Farid, Lisa, dan Tulad tiba di atas ketika hari telah gelap sementara itu Mamo, Rissar, dan Pak Adi masih jauh di belakang.
Begitu tiba di Pos 4 yaitu Pelawangan Sembalun, tempat pendaki mendirikan tenda sebelum menuju puncak kami disambut pemandangan menakjubkan Segara Anak. Segala letih yang dirasakan selama di Bukit Penyesalan sudah tidak terasa lagi. Sembari menunggu semua anggota yim mendarat di Pos 4, kami memilih tempat untuk mendirikan tenda. Pak Adi menyarankan supaya tenda dibangun dekat dengan sumber air. Tiga tenda yang kami bawa didirikan di pinggir tebing agar terlindung dari angin. Setelah berbenah dan mengisi tenaga dengan mie rebus, kami langsung meringkuk di tenda.
[caption id="attachment_325032" align="aligncenter" width="300" caption="The Team (Ki-Ka): Tulad-Farid-Rissar-Mamo-Titis-Putu-Lisa-Kadek"][/caption]
Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, tim akan bergerak menuju puncak Rinjani pukul 2 pagi. Lisa sudah sempat menolak, namun Mamo menariknya dari tenda agar semua rombongan ikut. Sebuah keputusan yang disesali Mamo kemudian karena pada akhirnya mereka berdua belum mendapat kesempatan menyentuh puncak Rinjani kali ini. Perlahan seluruh pendaki merambat ke puncak melewati jalanan berpasir yang semakin sedikit dinaungi pohon. Kanan kiri tebing curam berbatu diselingi bunga Edelweis yang masih kuncup. Akhirnya saya, Putu, Kadek, Tulad, dan Farid sudah tiba di puncak meski tidak tepat saat matahari terbit. Berada di titik ketinggian 3726 meter di atas permukaan laut menyaksikan pemandangan di Selat Lombok terlihat jelas. Bahkan Gunung Agung juga tampak gagah meruncing.
[caption id="attachment_325033" align="aligncenter" width="300" caption="Puncak Rinjani 3726 mpdl"]
Sewaktu kami turun, Rissar Nampak sedang duduk istirahat dan galau memutuskan apakah akan lanjut ke puncak atau ikut turun. Kami menyemangatinya supaya terus naik karena tinggal sebentar lagi. Rasanya seperti ketika ada seorang pendaki berambut pirang yang sedang turun gunung dengan bantuan porter memegang tongkat berteriak kepadaku “Hey, I made it and you’ll be doing that!”. Terima kasih atas semangatnya Mbak Bule yang ceria, saya menjawab dengan mantap “Thanks, I will”
Rissar pun melanjutkan langkahnya sementara kami kembali ke Pelawangan Sembalun. Sempat khawatir juga karena Rissar yang tidak juga muncul sampai sore hari ketika semua tim sudah makan siang. Terlihat kabut mulai naik membatasi jarak pandang, semoga tidak hujan. Akhirnya Rissar kembali dengan selamat. Dia bercerita kalau sepanjang jalan dia bersama perempuan paruh baya yang berusia 57 tahun. Kami mengenalnya dengan sebutan Oma, yang juga berasal dari Jakarta. Oma bersama rombongannya berjumlah 4 orang, semua pemuda dari Banyuwangi. Oma menceritakan perjalanan hidupnya pada kami, mulai dari awal pendakiannya sejak masih SMA dulu. Beliau sempat berhenti naik gunung karena mengurus rumah tangga, kini setelah anaknya besar Oma menjalani kembali hobinya. Pesan Oma, selagi muda bertualanglah, jangan berhenti, tapi ingat sebagai perempuan tetap ingat tugas rumah tangga. Oma keren !
Kami memang menginap lagi di gunung namun tidak seperti yang direncanakan sebelumnya yaitu di tepi danau Segara Anak sambil hunting pemandian air panas. Berhubung kondisi teman-teman sudah lelah, jadi Pak Adi menyarankan supaya kami menghabiskan semalam lagi di Sembalun dan esok paginya baru turun. Lagipula Lisa sudah ada agenda lanjut ke Pulau Moyo. Setelah sarapan, kami berkemas turun gunung. Pukul 11 kami turun, menempuh jalur yang sama seperti ketika mendaki. Niatnya supaya segera tiba di Sembalun sebelum gelap, ternyata kami baru tiba di titik awal setelah adzan Isya’ berkumandang. Selama perjalanan turun kami bersama Oma dan rombongannya. Cahaya rembulan menerangi jalanan bukit berdebu yang kami lalui.
[caption id="attachment_325034" align="aligncenter" width="300" caption="Bulan Purnama di Atas Segara Anak"]