Mohon tunggu...
Titip Elyas
Titip Elyas Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengajar, pendakwah, wartawan, penulis, wirausahawan muda, dan bisnisman

Menulis, membaca, traveling, dan bisnis/menarik dan energik/positif, indah, politik, sosial budaya, humaniora, kesehatan, bisnis, pengusaha, dan jurnalistik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Buya Hamka: Ulama, Sastrawan, dan Budayawan Nusantara

12 Juni 2024   15:40 Diperbarui: 12 Juni 2024   16:19 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Awal Kehidupan dan Pendidikan

Pada tanggal 17 Februari 1908, di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, lahirlah seorang anak yang kelak akan menjadi tokoh besar dalam sejarah Indonesia. Namanya Abdul Malik Karim Amrullah, namun lebih dikenal dengan panggilan Buya Hamka. Sejak usia empat tahun, Hamka telah ikut orang tuanya berpindah dari Maninjau ke Padang Panjang.

Di Padang Panjang, Hamka memasuki sekolah desa pada usia tujuh tahun. Selain itu, dia juga mengambil kelas sore di Diniyah School, sebuah institusi pendidikan Islam. Namun, setelah tiga tahun, dia memutuskan berhenti dari sekolah desa dan melanjutkan pendidikan di Sumatera Thawalib, sebuah sekolah yang fokus pada pendidikan agama. Di sana, Hamka menemukan minatnya pada pelajaran arudh, yang membahas tentang syair dalam bahasa Arab.

Merantau dan Penemuan Jati Diri

Di usia 16 tahun, Hamka memutuskan untuk meninggalkan Sumatera Thawalib dan merantau ke Jawa. Perjalanan ini menandai awal dari pencariannya akan pengetahuan dan jati diri. Setahun kemudian, Hamka kembali ke Padang Panjang untuk berkontribusi pada Muhammadiyah. Namun, usahanya untuk menjadi guru di sekolah Muhammadiyah ditolak karena keterbatasan kemampuan berbahasa Arab dan ketiadaan diploma. Keputusan besar pun diambil; Hamka berangkat ke Mekkah untuk belajar bahasa Arab dan memperdalam pengetahuan tentang sejarah Islam dan sastra secara otodidak.

Menggapai Cita-Cita

Sekembalinya dari Mekkah, Hamka tidak menyia-nyiakan waktunya. Dia merintis karier sebagai wartawan dan menjadi guru agama di Deli. Pada saat yang sama, ia menerbitkan majalah "Pedoman Masyarakat" yang menjadi wadah untuk menyuarakan pemikirannya. Karya-karyanya mulai dikenal luas dan mengukuhkan posisinya sebagai ulama dan sastrawan terkemuka.

Beberapa karya tulisannya yang terkenal antara lain "Si Sabariah" (1928), "Di Bawah Lindungan Ka'bah" (1938), dan "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" (1938). Selain itu, tafsir Al-Quran berjudul "Tafsir al-Azhar" yang ia tulis menjadi salah satu karya monumental dalam kajian Islam.

Karier dan Pengaruh

Buya Hamka tidak hanya dikenal sebagai sastrawan, tetapi juga sebagai tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam dunia pendidikan dan politik. Dia menjadi guru agama di berbagai tempat, pendiri Madrasah Mubalighin, hingga menjabat sebagai asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat. Karier jurnalistiknya berkembang dengan menjadi wartawan di surat kabar seperti "Pelita Andalas", "Seruan Islam", "Bintang Islam", dan "Seruan Muhammadiyah".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun