Mohon tunggu...
Titin Widyawati
Titin Widyawati Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Kehidupan

Suka melamun dan mengarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan dengan Takdir

1 Agustus 2024   09:23 Diperbarui: 1 Agustus 2024   09:24 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lima tahun yang lalu kedua telingaku kulubangi menggunakan bor, ada anting sebesar lingkaran jari tengah yang kugantungkan. Ia membuatku merasa lebih percaya diri, dan meyakinkanku bahwa diriku anak yang hidup dengan kebebasan.

Akulah pencipta kebebasan hidupku, tak ada yang  mengatur, dan tak ada yang menjadi batasan. Sementara orang-orang selalu berkata bahwa, 'Alur kehidupan sudah ada pengaturnya, tangan manusia tak akan bisa mengubahnya begitu saja jika Ia tak berkehendak,' dan aku baru membenarkannya setelah dua puluh enam tahun hidup dalam kebebasan semu.

              Anganku sedang terbang ke langit delapan. Aku melambung pada puncak kebebasan dunia ciptaan tanganku sendiri. Asap berembus, hidung menghirup singkatnya aroma kebahagiaan. Meskipun singkat, namun aku tetap merasakan perjalanan hidup panjang, tak berliku, tak terjal, juga tak bergelombang. Hal itu membuatku tertawa renyah, walaupun orang-orang berteriak, sementara jalanan beriak-riak dengan air mata.  Aku tak merasa terganggu ketika mobil dan kendaraan beroda dua kalang kabut mencari persembunyian, aku damai di tempatku berpijak.  Mereka justru lelucon yang membuatku ingin tertawa lagi dan lagi.

Pintu kamarku terketuk berkali-kali, sayangnya aku berbohong tak mendengarkannya, telingaku yang masih normal kuanggap tuli dengan segala bentuk panggilan dan suara, dari mana pun, bahkan dari siapa pun, termasuk Ibuku.

              Kepalaku pening, tubuhku serasa mengambang, almari dan dipan berjalan-jalan, kaca berderit, sebelum akhirnya retak, kemudian pecah. 

Di luar sana, rumah-rumah,, gedung-gedung tinggi, pertokoan, perkantoran, bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri, memperjuangkan suatu keadaan seimbang, agar tiang tak goyah dan atap tidak roboh, sayangnya pondasi--pondasi bergelut dengan guncangan dasyat. Pintu tidak terdobrak, namun ia ambruk begitu saja, disusul tubuh Ayah dan Ibu. Dinding kamarku retak, perlahan terbelah, udara yang penuh debu masuk dengan lancang, suara gemuruh, jalanan kini dipenuhi dengan reruntuhan. Rumahku masih terselamatkan, meski doyong 60 derajat.

Aku masih tertawa.

Ibu menangis, Ayah  panik dan menyeretku bersembunyi di bawah kolong meja. Meja makan menjadi perlindungan tiga kepala. Aku tak mengerti mengapa mimik wajah Ibu tampak sangat menyedihkan.

              Bumi bergoyang, kali ini dengan tekanan yang lebih besar. Atap rumahku roboh, material mengenai permukaan meja kami, beruntung meja hanya retak, tidak patah, kepala kami selamat. Ayah dan Ibu menarik tubuhku yang limbung, tubuhku reflek menyeimbangkan langkah mereka yang lari terbirit-birit menghindari jatuhnya material gedung dan jalanan yang retak. Mobil-mobil terparkir sembarang, bus-bus besar oleng, mereka yang masih sempat mengendarai motor, menancap gas sekencang mungkin, tak peduli pada akhirnya menabrak pohon, atau tertimbun longsoran gedung pencakar langit.

 Jembatan Kuning di Palu roboh, jalanan terbelah, kaca-kaca gedung yang dulu merekam sunset juga sunrise dari dalam ruang, hancur berkeping, luruh begitu saja, tak mempedulikan ada puluhan bahkan ratusan orang berlari di bawahnya, obyek tersebut seenaknya saja hinggap di kepala, di leher, di kaki, bahkan mengenai mata orang. Mereka terluka, mereka menangis, mereka mengaduh pada Tuhan, mereka meminta pertolongan, bercampur permohonan ampun. Seorang bayi terkapar di jalanan yang retak. Bocah-bocah tak berdosa menjerit mencari  ibunya. Remaja-remaja kalang kabut mencari pegangan agar tubuhnya tak ambruk, tragis tiang penyangga yang dijadikannya tumpuan justru roboh mengenai tubuhnya.

Ada kepala-kepala yang ditinggalkan anggota tubuhnya karena terkena reruntuhan, ada yang terkubur di dalam kubangan material, ada tangan yang lupa siapa pemiliknya, ada kaki yang tergeletak di jalanan, kemudian perlahan, mayat-mayat berjatuhan mengenaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun