Dan aku masih tertawa, aku terbang, melupakan kepedihan-kepedihan yang mereka alami, hidupku tak ada sangkutpautnya dengan kejadian saat ini.
Wajah Ibuku berubah pucat, Ayah sudah membeku ketakutan, namun mereka masih memegangi tanganku erat-erat. Di persimpangan jalan yang retak, kedua orangtuaku kebingungan, tak menemukan pertolongan sedikit pun, meskipun mereka telah lama melolong. Orang-orang lari tunggang langgang, tak menghiraukan siapa yang ada di belakang mereka, bahkan bisa jadi istri tercinta, anak tercinta telah dilupakan.
Kota yang semula megah, yang semula dipenuhi dengan kehidupan hedonis, yang semula selalu bergemerlap dengan pesta-pesta, yang semula tertawa dengan kepuasan-kepuasan, kini menangis penuh darah dan tubuh-tubuh manusia tidak berdaya.
Palu kini tak bertenaga, sementara aku masih tertawa. Ia kritis dengan guncangan bumi, 7,4 SR, kemudian koma karena amukan air yang bergelombang. Bangunan hanyut, orang-orang terseret, beberapa tersangkut di tiang-tiang yang masih berdiri, beberapa tertusuk besi beton, beberapa tenggelam.
Alam sedang mengajak bergurau, tapi aku sudah tak bisa diajak bercanda. Ibuku terseret air yang keruh, sementara aku dan Ayah masih berpegangan tiang listrik, tubuh kami terombang-ambing di dalam air. Kami berdua menjaga keseimbangan tubuh agar tidak terkena benturan material yang hanyut. Napasku sedikit terganggu karena banyak air tsunami yang aku minum. Seperkian detik aku melihat kepala Ibu terkena reruntuhan kaca.
Darah bercampur dengan air, ia melambaikan tangan namun tidak berpamitan, perlahan tubuhnya tenggelam, kemudian aku tersadar dari sihir nikotinku. Ayah megap-megap, ia melambaikan tangan ke permukaan, tiang listrik terhanyut, kami pun ikut hanyut. Orang-orang yang bersembunyi di lantai gedung tertinggi jika beruntung masih selamat, jika sial, maka tertimbun reruntuhan gedung itu sendiri. Untuk pertamakalinya setelah berpuluh-puluh tahun hidup aku merasakan pahitnya ditinggal seseorang.
        'Ibu, maafkan aku.' Bahkan ia tak mendengar kata maaf dariku.
       Ayah menatapku lekat-lekat, ia seolah memberi isyarat agar aku mampu menyelamatkan diri, setelah itu tangannya terlepas, tubuhnya berbenturan dengan mobil lamborgnini yang hanyut, di dalamnya terperangkap dua orang yang telah meninggal, kini aku sendirian dengan batang tiang listrik yang terombang ambing di permukaan air. Aku berusaha keras menepi, aku naik ke bangunan yang masih berdiri, meskipun hanya tersisa puing-puing yang lemah. Berharap gurauan alam ini usai.
Tanpa kusadari, air mataku meleleh. Ada sesal dan kepedihan yang menyatu dan bersembunyi di dadaku lekat-lekat. Kakiku terasa perih, entah kapan ia terluka, darah mengalir segar. Pakaian yang kukenakan telah compang camping, pelipisku robek, dan entah kapan pula ia robek, lenganku mati rasa, juga aku tak tahu apa penyebabnya.
Gempa dan tsunami terjadi ketika aku nge-flay. Aku tidak tahu, seberapa lama bencana ini terjadi, aku juga tak menghitung menit kematian orang-orang yang telah menjadi bangkai di bawah sana.
Sesadarku, aku merasa ngeri dan ketakutan. Tubuhku terseok. Kota yang dahulu dipenuhi dengan hotel dan mall-mall mewah, kini lebu binasah. Ratusan manusia dan hewan-hewan rumahan terkapar tanpa nyawa. Dan semua itu belum selesai.