entah…
Apa yang bisa kuharap darinya. Lengang hati dan jiwa dalam pagutan masa.
Tapi aku mencintanya.
Sejak kapan persisnyapun aku tak berhasil mengingat. Mungkin saat pertama tangisku pecah, aku sudah bisa merasakan senyum hangatnya. Untuk kemudian dia begitu setia mengajakku bcanda di antara gelak tawa dunia. Dia membayangi senyum sahabatku, menjelma pada uluran tangan saudaraku. Meski kuyakin tidak pada senyum ‘dingin’ ayah ibuku. Kakak serta adikku.
Aku gelisah, namun kesahku rapi terkemas dalam manis senyuman.
Aku ketakutan, namun gigilku bersembunyi dalam diam lakonku.
Tak ada yang mampu menghiburku seperti sunyi melakukannya untukku. Semua sibuk dengan urusannya. Tertawa bahagia tanpa ‘peduli’ dengan kami. Bertahun-tahun. Hingga kemudian kami menjagi spasang kekasih. Tanpa seorangpun menyadarinya.
Aku makin mencintainya.
Namun aku ketakutan saat bersamanya. Sebab kurasa nyeri dihatiku makin menjadi dan luka yang ada makin menganga. Seringainya makin memenjarakanku, membuatku kehabisan daya untuk melawan.
Aku tercekat, pada malam2 gelap tanpa ujung.
Aku tergugu hingga habis waktuku menunggu.
Allah,.
Maafkan aku; terkadang sunyiku menjauhkanMu dariku.
Aku
Kekasih sunyi yang mulai ketakutan saat sunyi itu benar2 datang.
…………….
………..
……..
…
.
_krn pada akhirnya sunyi jua yang kan meminangmu, so siapkan perbekalan saat ia benar2 mengajakmu memeluk bumi_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H