Mohon tunggu...
Titin Septiana
Titin Septiana Mohon Tunggu... ASN -

simple lady,.. :)

Selanjutnya

Tutup

Nature

Law Enforcement, antara Ideal dan Realita

5 Maret 2012   07:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:29 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Belakangan ini, media massa ramai memberitakan tentang kasus pencurian dua batang pohon pinus di KRPH Perhutani di Garut, Jawa Barat.  Berita ini secara intinya memberitakan bagaimana tiga orang tersangka yang dikenakan dakwaan dikarenakan mengambil batang pohon pinus dia area Perhutani tersebut.  Lalu kemudian seperti halnya berita-berita sebelumnya, para media massa ini pun kemudian menyoroti nominal kayu tersebut.  Banyak pro kontra yang kemudian muncul terkait dengan adanya pemberitaan ini, ada pihak maupun media yang kemudian menghembuskan bahwa “masa gara-gara kayu seharga Rp 200.000, seseorang dihukum?”

Bahkan ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang kemudian seolah-olah jadi sinterklas, beliau siap memberikan ganti rugi pada pihak Perhutani terkait dengan kasus ini, tentunya dengan maksud para tersangka tersebut dibebaskan.  Satu sisi saya salut dengan anggota dewan tersebut, sungguh berbaik hatilah beliau ini, namun di sisi lain, saya miris, ini anggota dewan paham perundang-undangan tidak sih? Dan inilah salah satu yang menyebabkan hokum kadang tidak dapat diterapkan di negara ini, karena para pemegang dan pembuat kebijakan pun belum satu kata.

Sudahlah, mungkin terlalu panjang jika menceritakan tentang kejadian di Garut sana, namun yang ingin saya kemukakan adalah kejadian ini tidak saja terjadi di Garut, namun juga banyak terjadi di kawasan lainnya di Indonesia, terutama yang terkait dengan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) maupun Kawasan Suaka Alam (KSA).

Hal ini juga kami alami di Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM), yang mana selalu berulang kali kami temui masyarakat yang telah berulang kali kami peringatkan untuk tidak masuk kawasan juga menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, karena hal ini terkait dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pasal 50 ayat (3) poin e, juga kegiatan – kegiatan lain sejenis yang dilarang dilakukan di dalam Kawasan Pelestarian Alam serta Kawasan Suaka Alam tersebut, diantaranya juga penambangan pasir liar secara terus-menerus dan menjadi sumber konflik antara Balai Taman Nasional Gunung Merapi dengan masyarakat sekitar.

Seperti halnya yang kami temukan ketika operasi kawasan tanggal 15 Februari 2012, kami menemukan lebih dari 200 batang pohon pinus telah ditebang dan semua batang pohon tersebut telah lenyap tanpa bekas.  Namun kemudian kami menemukan seorang bapak yang mengaku bernama (sebut saja namanya pak Rahman), beliau tertangkap tangan sedang memotong kayu pinus menjadi beberapa bagian, dan di sebelahnya juga dijumpai beberapa alat potong berupa gergaji dan golok.

Sebagai seorang staf yang termasuk awam dalam hal penanganan kasus semacam ini, sempat timbul rasa iba pada si bapak tersebut, beliau mengaku kalau beliau mengetahui bahwasannya masyarakat dilarang untuk menebang, mengambil dan memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.  Dan telah berulang kali para staf BTNGM mensosialisasikan larangan ini pada masyarakat serta para pemuka masyarakat terkait. Bahkan telah berulang kali pula pihak BTNGM memergoki para masyarakat yang menebang pohon maupun mengambil hasil hutan, dan berulang kali pula pihak BTNGM menegur mereka dan meminta mereka untuk membuat surat pernyataan, dan bahkan tidak segan-segan pihak BTNGM memperkarakannya, menuntutnya jika memang mereka berulangkali menebang serta memungut hasil hutan di dalam hutan.

Kemudian pertanyaannya, apakah metode ini cukup efektif untuk memberikan efek jera bagi masyarakat agar tidak mengambil hasil hutan?  Jika selama ini para penegak keadilan, dalam hal ini pihak kepolisian (dibantu dengan para polisi kehutanan juga PPNS kementrian Kehutanan), selalu berusaha menegakkan keadilan dengan memberikan sanksi pada pelaku kejahatan baik kecil maupun besar.  Namun herannya, lebih banyak dijumpai kasus dimana para rakyat kecil yang kedapatan melakukan tindak pidana tersebut.  Mereka tertangkap tangan sedang mengambil batang pohon di kawasan hutan tersebut dengan alasan untuk menyambung hidup, lalu kemana kah para tengkulak yang menyuruh para pekerja (yang sebagian besar adalah masyarakat sekitar kawasan)? Mereka hamper selalu aman dari jeratan hukum, sementara yang selalu dipidanakan adalah para masyarakat kecil.

Lalu bagaimana baiknya? Apakah selama ini law enforcement cukup efektif?  Lalu bagaimana dengan sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan kawasan hutan, sudahkah tersosialisasikan semuanya?  Ini masih jadi tugas kita semua, tugas para aparat, terutama di Kementrian Kehutanan.  Tugas yang tidak ringan dan memerlukan dukungan banyak pihak.

Sleman, 5 Maret 2012

Titin Septiana Rahmawati

PEH Ahli Balai Taman Nasional Gunung Merapi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun