Beberapa tahun terakhir, sering kita dengar gembar-gembor GLS atau gerakan literasi sekolah. Secara sederhana GLS dapat diartikan sebagai adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara.Â
Gerakan literasi sekolah merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik (kemendikbud, 2016).Â
GLS akan memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti sebagaimana dituangkan dalam peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan nomor 23 tahun 2015.
Menanamkan budaya literasi kepada siswa-dalam hal ini yang paling dasar adalah membaca- tidaklah segampang membalik telapak tangan. Dibutuhkan kerja sama yang solid antara guru, tim literasi (wali kelas) dan siswa itu sendiri. Bagaimanapun juga, keterampilan membaca merupakan pondasi untuk mempelajari banyak hal.Â
Melalui membaca, siswa menyerap pengetahuan dan mengeksplorasi dunia yang bermanfaat bagi dirinya. Adanya GLS diharapkan memberikan angin segar bagi tumbuh kembangnya kegiatan berliterasi di sekolah.Â
Tiga tahapan GLS yang dicanangkan, yaitu pembiasaan, pengembangan dan pembelajaran diharapkan membentuk pribadi siswa yang mampu mengembangkan kemampuan memahami teks dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi dan berkemampuan berpikir kritis.
Pelaksanaan gerakan literasi di sekolah beragam bentuknya, bisa melalui penjadwalan kunjungan ke perpustakaan, sudut baca, pemberdayaan mading sebagai papan karya literasi, poster ajakan membaca, membaca 15 menit sebelum pelajaran, adanya duta literasi sekolah dan lomba karya literasi, sampai pada penulisan buku antologi oleh siswa. Semua hal itu tentu saja bisa dilaksanakan dalam situasi kegiatan belajar normal yang. Namun setahun ini, pandemi corona telah mengubah sistem pendidikan kita dari tatap muka menjadi dalam jaringan.Â
Mau tidak mau, GLS sebagai kegiatan yang diharapkan bisa memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti terhambat. Bagaimanapun, pelaksanaan GLS dalam masa pandemi akan lebih mudah dilaksanakan jika ada komunikasi langsung antara guru dan siswa.Â
Dalam hal ini, di setiap sekolah biasanya telah dibentuk tim literasi khusus sebagai pemegang kontrol kegiatan. Tim ini bisa dibentuk dari para wali kelas, karena merekalah yang berperan utama sebagai penghubung ke siswa, bahkan ke wali siswa. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan tim literasi khusus dalam masa pandemi.
Komunikasi dengan orang tua-wali murid
Orang tua memiliki peran strategis dalam perkembangan pendidikan anak, apalagi di masa pandemi, di mana para siswa berada dalam situasi 'belajar dari rumah'. Komunikasi antara guru terlebih wali kelas dan orang tua harus lebih diintensifkan. Orang tua wajib tahu gerakan literasi seperti apa yang harus diikuti oleh anaknya, sehingga akan lebih mudah bagi guru untuk mengontrol perkembangan siswa.Â