Ada cerita unik dari teman saya tentang sepupunya yang akselarasi, sebutlah namanya Anto. Beberapa bulan menjelang ujian di SD-nya, si Anto dan beberapa temannya yang masih duduk di kelas 5 tiba-tiba disuruh “naik kelas”. Hal ini dilakukan pihak sekolah karena konon ketika itu siswa kelas 6 peserta ujian jumlahnya tidak mencukupi. Jadilah, Anto and friends akselarasi dengan cara yang tidak lazim, yaitu untuk menutupi kekurangan jumlah peserta ujian. Waktu mendengar cerita ini saya tertawa terpingkal-pingkal: ini akselarasi yang sungguh aneh.
Terlepas dari keganjilan kisah di atas, kebanyakan orang tua pasti bangga jika anaknya diakselarasi. Tetapi, apakah anak betul-betul senang mengalaminya? Menurut saya, TIDAK.
Sejujurnya, saya tidak pernah merasakan akselarasi sungguhan seperti halnya Allysa Soebandono. Kisah akselarasiku sedikit berbeda, tetapi lazim kok, hehehe.
Dulu saya pernah kursus bahasa Inggris hampir dua tahun lamanya. Sistim di tempat kursus ini membagi-bagi kelas belajar berdasarkan kelas pesertanya di sekolah. Misalkan, saya yang masih duduk di bangku kelas 1 Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) akan belajar bersama siswa-siswa kelas 1 lainnya, meskipun kami berasal dari sekolah yang berbeda. Saya pun senang dengan kegiatan kursus ini; belajar sambil memperluas pertemanan dengan anak-anak dari sekolah lain.
Suatu ketika, saya di-naikkelas-kan oleh guru kursus saya karena menurut Beliau saya sudah pantas belajar Bahasa Inggris di level “Kelas 2 SMP”. Oke, saya terima. Bulan-bulan pertama saya menikmati belajar bersama anak kelas 2 karena sebagian dari mereka memang masih teman sepermainanku di sekolah maupun di lingkungan rumah. Tetapi, kebahagiaan saya serasa direnggut ketika harus naik level lagi: belajar dengan anak-anak kelas 3. Entah mengapa, rasanya “duniaku” jauh berbeda dengan “dunia” mereka. Mereka lebih dewasa dalam banyak hal. Jika anak-anak kelas 1 masih mengobrolkan cinta monyet yang tidak penting, kelihatannya anak kelas 3 memiliki kisah cinta sedikit lebih serius (pendapat saya saat itu). Pada akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti kursus karena ketidaknyamanan saya dengan lingkungan yang baru dan “lain”.
Meskipun demikian, tidak semua anak merasakan hal yang sama seperti saya. Teman saya yang lain bercerita bahwa adik sepupunya dua kali mengalami akselarasi dan anak itu terlihat sangat menikmatinya. Intinya adalah, tanyakan kepada anak Anda apakah mereka bahagia dengan akselarasi?
Salam Kompasiana, :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H