"Maaf, Pak. Boleh saya tahu, Bapak siapa?" tanya Hasan akhirnya.
Pria tua itu tersenyum lagi, kali ini dengan tatapan penuh misteri. "Aku hanya seorang penikmat kopi, sama sepertimu. Namaku Hamid. Aku sering datang ke sini untuk menikmati secangkir kopi dan berbagi cerita."
Percakapan mereka mengalir seperti aliran kopi yang dituangkan dari teko ke cangkir. Hasan menceritakan tentang pekerjaannya sebagai pegawai kantor yang sibuk dan monoton. Ia sering merasa jenuh, dan kopi adalah satu-satunya pelarian yang membuatnya merasa hidup. Hamid mendengarkan dengan sabar, sesekali mengangguk atau memberikan tanggapan ringan.
"Kopi adalah cermin kehidupan,nak" kata Hamid akhirnya. "Pahitnya mengajarkan kita untuk menerima kenyataan, dan manisnya memberi harapan. Tapi yang paling penting, aroma kopi itu mengingatkan kita untuk berhenti sejenak dan bersyukur."
Hasan terdiam. Kata-kata Hamid menembus pikirannya, membuatnya merenung lebih dalam. Ia mulai mengingat momen-momen kecil yang sering ia abaikan seperti senyuman ibunya setiap pagi, atau suara burung yang berkicau di luar jendela kantornya.
Hari itu, Hasan dan Hamid berbincang hingga matahari terbenam. Ketika Hasan akhirnya memutuskan untuk pulang, ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia membawa pelajaran bahwa setiap tegukan kopi bukan hanya soal rasa, tetapi juga soal makna dan rasa syukur.
Namun, kisah Hasan dan Hamid tidak berakhir di situ. Pertemuan di kedai kopi itu menjadi awal dari perjalanan baru bagi Hasan. Ia mulai sering datang ke kedai tersebut, berharap bisa bertemu Hamid lagi. Setiap kali ia bertemu pria tua itu, selalu ada cerita baru yang dibagikan mulai dari tentang kehidupan, cinta, keluarga, dan tentu saja tentang sebuah kopi.
Suatu hari, Hasan bertanya kepada Hamid, "Pak Hamid, apa yang membuat Bapak begitu mencintai kopi?"
Hamid tersenyum tipis. "Kopi adalah warisan dari ayahku, Nak. Dulu ayahku adalah seorang petani kopi di sebuah desa kecil. Ia selalu berkata, 'Kopi adalah doa yang dituangkan ke dalam cangkir.' Setiap kali aku meminum kopi, aku merasa seperti sedang mendengarkan doa-doa ayahku yang tidak pernah terucapkan."
Cerita itu membuat Hasan semakin terpesona. Ia mulai memandang kopi dengan cara yang berbeda. Baginya, kopi bukan lagi sekadar minuman tetapi sebuah perjalanan spiritual. Setiap aroma, rasa, dan tegukan adalah pengingat akan hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian.
Namun, suatu hari Hamid tidak lagi muncul di kedai kopi itu. Hasan mencarinya, bertanya kepada pelayan, tetapi tidak ada yang tahu ke mana pria tua itu pergi. Kedai itu terasa sepi tanpa kehadiran Hamid dan ceritanya. Namun, Hasan menyadari bahwa pelajaran yang diberikan Hamid tidak akan pernah hilang.