Mohon tunggu...
Titin Murtakhamah
Titin Murtakhamah Mohon Tunggu... profesional -

Merayakan kehidupan dengan riang gembira

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hijab: Antara Sejarah, Kepentingan Politik dan Simbol

5 Maret 2013   14:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:17 2746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jadul, tapi berwibawa (nenekebayanlundu.blogspot.com)

Beberapa saat lalu terlihat Maharani mengenakan kerudung orange saat jumpa pers terkait kasus suap daging sapi. Kita juga sering melihat para perempuan yang sedang dirundung masalah hukum tiba-tiba mengenakan kerudung, setidaknya di depan kamera atau majelis hakim. Atau para politisi perempuan yang tiba-tiba saja berkerudung ketika berkampanye. Beberapa saat terakhir, kita juga melihat banyak artis yang berduyun-duyun mengenakan busana ini, mereka menyebutnya sebagai hijab.

[caption id="" align="alignleft" width="201" caption="Maharani, anggun dengan kerudung orange (foto.detik.com)"][/caption]

[caption id="" align="aligncenter" width="420" caption="Jadul, tapi berwibawa (nenekebayanlundu.blogspot.com)"][/caption]

Saya ingat, sewaktu kecil pun saya juga sering berkerudung terutama ketika sedang belajar membaca Alquran atau menghadiri pengajian. Ibu saya juga mengenakannya, berpakaian jarit batik dan kebaya ala Jawa tetapi kepala ditutup dengan ‘ciput daleman’ semacam topi yang membungkus kepala namun leher masih kelihatan. Biasanya ibu akan menambahi dengan selendang panjang yang diulurkan melilit leher dan menutup dada terutama ketika menghadiri pesta pernikahan atau takziah. Model seperti ini juga dikenakan oleh Sinta Nuriyah Wahid. Terlihat sederhana, jadul tetapi sangat anggun. Yang menarik, bapak saya tidak pernah mengharuskan anak-anaknya untuk berkerudung, juga tidak ada ancaman disertai dalil-dalil meskipun beliau termasuk  agamawan.

Tahun 1994  saya terlibat dalam pentas teater “Lautan Jilbab”-nya Emha Ainun Najib yang diadakan oleh perguruan di mana saya belajar mengaji. Sungguh, ada rasa bangga yang luar biasa bisa menunjukkan ke banyak orang bahwa “Saya sudah hijrah, lho...” apalagi  saat itu jilbab belum sepopuler sekarang.  Saat itu, setiap ada kawan yang baru saja mengenakan jilbab akan mendapatkan ucapan selamat dari kawan-kawannya yang lebih dulu mengenakannya. Hehehe.. serasa telah menemukan jalan yang benar dan dijamin surga. Namun di pertengahan tahun 1996 saya dan segelintir kawan masih harus berjuang agar sekolah kami membolehkan foto berjilbab dalam ijazah. Bukan hal yang mudah, karena saat itu foto berjilbab dalam ijazah dianggap tidak lazim, menyalahi aturan,  terancam tidak bisa masuk perguruan tinggi bahkan tidak laku cari kerjaan dan lain-lain. Kami sampai harus melakukan audiensi ke dinas pendidikan setempat untuk memperoleh legalisasi foto berjilbab dalam ijazah. Perjuangan itu membuahkan hasil. Jadilah, foto-foto ijazah SMA saya dan beberapa kawan mengenakan jilbab, dan kami pun bisa kuliah di perguruan tinggi negeri.

Tiga tahun kemudian, saya mendengar sekolah saya yang negeri itu, yang sebelumnya seperti melarang siswinya berjilbab,  justru kemudian mengharuskan siswi muslim untuk berjilbab. Memang, jilbab di sekolah pernah menjadi kontroversi di tahun 1983 antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu dengan MUI. Jilbab bahkan pernah dilarang dipakai di sekolah negeri tetapi sekarang jilbab seolah-seolah justru ‘harus’ dipakai oleh siswi muslimah. Perih, itulah yang saya rasakan. Bukankah melarang orang untuk berpakaian sesuai dengan keyakinan atau memaksa seseorang untuk berpakaian tertentu adalah sama-sama pelanggaran terhadap hak asasi manusia?

Inilah  yang  kemudian saya alami sewaktu bertugas di Aceh akhir tahun 2005, saat bencana tsunami melanda kota itu. Saya mengenakan kerudung terus terang karena diwarnai rasa kawatir dan takut dengan polisi syariah yang mengawasi kegiatan orang-orang dari luar Aceh. Bayangkan jika kita ingin menolong orang yang sedang dalam situasi bencana, tetapi kita sendiri ketakutan dengan orang yang hendak kita tolong. Ya, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, itu yang kemudian saya amini. Meski di dalam hati saya tersenyum kecut mengenang kepengecutan saya yang hanya cari aman, mementingkan strategi dan keberhasilan pekerjaan saya tetapi tidak punya keberanian untuk mengatakan tidak, meski sebenarnya hati menolak cara-cara pemaksaan yang dipraktekkan. Anehnya, banyak relawan  yang beralasan sama. Takut.

[caption id="" align="aligncenter" width="153" caption="Model Abaya (stylishmuslimah.blogspot.co)"][/caption]

Pakaian penutup kepala perempuan di Indonesia semula dikenal dengan kerudung, tetapi permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab, dan belakangan ini mulai muncul istilah hijab. Pakaian jenis ini mulai marak dikenakan oleh muslimah perkotaan di Indonesia pada tahun 1990-an. Di beberapa tempat pakaian sejenis dikenal dengan beberapa istilah seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libia, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti Mesir, Sudan dan Yaman.

Tradisi menutup kepala dapat ditelusur dari bangsa Mesir Kuno yang memaknai rambut sebagai simbol kekuatan, keagungan dan kebanggaan. Mereka senantiasa memotong rambut secara total (botak) sebagai ekspresi kelemahan dan kerendahan hati di hadapan Tuhan. Kepala yang tanpa rambut rentan terhadap sengatan panas sehingga membuat mereka menutupi kepalanya. Tradisi memotong rambut ini kemudian menyebar ke berbagai pelosok dunia dan dicerna oleh peradaban yang saling berbeda termasuk Budha dan Hindu.

Bangsa Ibrani (Yahudi) mempunyai tradisi memanjangkan rambut dan tidak memotongnya sebagaimana dipraktekkan bangsa Mesir. Tetapi mereka meniru tradisi menutup rambut ketika berhadapan dengan Tuhan, sebagai simbol ketundukan dan kepatuhan. Kaum laki-laki meletakkan topi, kippah atau qor di atas kepala sementara kaum perempuan menggunakan khimar (kerudung).

Dalam tradisi Nasrani, rambut tidak banyak dibahas. Mungkin karena ajaran Yesus lebih banyak menekankan esensi keberagamaan dan bukan simbol, maka beliau lebih banyak menekankan pada sentuhan hati dan nurani bukan pada bentuk dan penampilan. Kendati demikian Paulus dalam surat yang ditujukan kepada penduduk Corinthius (Kitab 11: 4-14) pernah mengatakan sebagai berikut:

“Setiap laki-laki yang bersembahyang atau bersuci hendaklah menutup kepalanya dengan sesuatu, demikian juga dengan perempuan, hendaklah dia menutupinya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan itu adalah penghinaan maka haruslah ia menudungi kepalanya? Sebab, pantaskah seorang perempuan menyembah Tuhan dalam keadaan tidak bertutup kepala?”

Nampaknya Paulus terpengaruh tradisi masyarakat Romawi yang membolehkan laki-laki sembahyang tanpa menutup kepala namun di sisi lain dia masih berpegang pada tradisi Yahudi yang melarang perempuan menghadap Tuhan tanpa menutup kepala dengan kerudung atau penutup lainnya.

Rambut perempuan dalam pandangan Yahudi dan Nasrani, juga beberapa agama lain tidak dianggap aurat tetapi dianggap sebagai simbol kekuatan dan keagungan. Dengan perspektif ini tradisi menutup kepala bagi kaum perempuan dan laki-laki (dalam ajaran Yahudi) dan bagi perempuan (dalam ajaran Nasrani) merupakan simbol kerendahan hati dan ketundukan diri di hadapan Tuhan. Maka sampai sekarang kita masih melihat kaum agamawan Yahudi dan Nasrani menutup kepala mereka saat bersembahyang. Dan kalaupun tidak menutup kepala sebagai penggantinya mereka harus memotong rambut sebagaimana dipraktekkan para agamawan Hindu dan Budha.

[caption id="" align="alignnone" width="320" caption="Berbagai model kerudung dalam tradisi keagamaan (http://bet-midrash.blogspot.com)"]

Berbagai model kerudung dalam tradisi keagamaan (http://bet-midrash.blogspot.com)
Berbagai model kerudung dalam tradisi keagamaan (http://bet-midrash.blogspot.com)
[/caption]

Sedangkan dalam ajaran Islam, menutup kepala (terutama perempuan) dianggap oleh sebagian orang sebagai kewajiban agama sedangkan sebagian yang lain menganggapnya sebagai bagian dari tradisi dalam berbusana (bukan kewajiban agama). Semasa Arab Jahiliyah, para perempuan biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada tanpa ada penutupnya. Imam Zarkasyi menguraikan bahwa para perempuan itu mengenakan pakaian yang membuka leher bagian dadanya, sehingga tampak jelas seluruh leher dan urat-uratnya serta anggota sekitarnya. Mereka juga menjulurkan kerudungnya ke arah belakang sehingga bagian muka kelihatan. Lalu turunlah ayat tentang khimar atau kerudung:

“Wahai Nabi katakanlah kepada perempuan mukmin agar menundukkan pandangan, menjaga kehormatan dan tidak mempertontonkan perhiasan mereka kecuali yang sepantasnya tampak saja. Dan hendaklah mereka menjumbaikan khimar (kerudung) ke dada..”. QS An-Nur/24:31

Ayat ini menganjurkan agar lebih mengutamakan menutup dada dan tidak pamer perhiasan sebagai ganti tradisi membiarkannya terbuka, tanpa maksud menetapkan jenis busana tertentu. Inilah simbol pembeda perempuan mukmin dan yang tidak.

Tradisi perempuan Arab untuk bersenang-senang, membiarkan muka mereka terlihat seperti budak dan oleh kondisi tertentu mereka membuang hajat di padang pasir, sebelum ada toilet di perumahan. Beberapa laki-laki sering berlaku buruk dengan beranggapan kalau mereka adalah budak  dan sering menggunakan para perempuan itu untuk kepentingan politik  dengan cara melecehkannya. Lantaran merasa diganggu, mereka melaporkan kepada Nabi. Lalu turunlah ayat ini untuk menjadi pembeda antara perempuan mukmin merdeka dan budak.

“Wahai Nabi, sampaikanlah kepada isteri-isterimu, putri-putrimu dan perempuan mukmin agar merendahkan jalabib (mantel) mereka. Yang demikian itu lebih memudahkan mereka untuk dikenal, sehingga mereka terhindar dari perlakuan buruk...”. QS Al-ahzab/33:59

[caption id="" align="alignright" width="128" caption="Sederhana tetap cantik (ucantik.com)"][/caption]

Simbol pembeda ini dilakukan dengan cara memanjangkan pakaian, sehingga mereka lebih mudah dikenal dan tidak mendapat perlakuan buruk. Jilbab didefinisikan sebagai pakaian yang lebih besar ketimbang khimar (kerudung) dan menutupi  tubuh (mantel). Sekarang, budak sudah dihapuskan sehingga rasanya relevansi pembedaan itu sudah tidak diperlukan lagi.

Konsep hijab bukanlah milik Islam saja, karena dalam tradisi Yahudi juga dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijab yakni tif’eret. Demikian pula dalam Injil ditemukan istilah semakna seperti zammah, re’alah, zaif dan mitpahat. Hijab dalam Islam merujuk pada QS Al Ahzab/32:53:

“....Dan bila engkau meminta sesuatu dari mereka (isteri-isteri Nabi) maka pintalah dari balik tirai. Sungguh yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan juga mereka....”.

Hijab berarti penutup, tirai atau satir. Perempuan berhijab berarti perempuan yang bertutup dengan penutup tertentu. Maksud umum ayat ini adalah anjuran dibuatkan tirai pemisah antara isteri-isteri Nabi dengan kaum mukmin, sehingga bila mereka ingin berbicara dengan salah seorang dari isteri Nabi atau meminta sesuatu agar melakukannya di antara penghalang (tirai). Dengan demikian mereka tidak saling pandang memandang baik pada muka, tubuh maupun keduanya. Hijab dalam ayat ini adalah khusus diperuntukkan bagi isteri-isteri Nabi, tidak termasuk budak, puteri-puteri beliau dan perempuan mukmin lainnya. Dengan begitu hijab menjadi simbol penghormatan kepada isteri-isteri Nabi yang sudah menjadi ibu bagi kaum mukmin umumnya dan bukan budak. Ayat ini juga ingin menegaskan pentingnya pemisahan ruang privat dan publik Nabi dan isteri-isterinya dengan kaum muslimin lainnya.

[caption id="" align="alignleft" width="240" caption="Gaya berkerudung wanita Mesir (etalaseibu.multiply.com)"][/caption]

Di beberapa tempat seperti Mesir, berkerudung atau tidak kemudian menjadi penanda usia seorang perempuan atau simbol status perempuan. Sebagai tanda kerendahan hati, kaum perempuan yang sudah lanjut usia terbiasa memakai penutup kepala dalam kesehariannya atau ketika menjamu tamu laki-laki. Kaum perempuan kelas menengah ke bawah terbiasa menutup kepala mereka dengan kain yang mirip sapu tangan yang disebut abu quyah. Kaum petani juga sering menutup kepala mereka terutama untuk menghindar dari sengatan matahari. Putri-putri dari keluarga kerajaan juga biasa memakai penutup kepala berwarna polos, tidak berenda dan berbentuk mengelilingi kepala yang dalam bahasa Turki disebut yasymak. Itu mereka kenakan untuk  menunjukkan bahwa mereka adalah keluarga kerajaan.

[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="Jamaah gereja Orthodox di Ethiopia (http://bet-midrash.blogspot.com)"]

Jamaah gereja Orthodox di Ethiopia (http://bet-midrash.blogspot.com)
Jamaah gereja Orthodox di Ethiopia (http://bet-midrash.blogspot.com)
[/caption]

Kostum-kostum demikian diadopsi dari model kostum yang dulunya dikenakan putri-putri keluarga kesultanan Ustmani. Model kostum yang demikian mulanya berasal dari Byzantium (dari Constantinopel atau Astana). Kostum demikian juga semarak dikenakan di daerah-daerah Persia kemudian juga menyebar ke kaisaran Rusia hingga revolusi Bolsevik tahun 1917. Kostum yang sama akhirnya juga dikenakan para perempuan Turki untuk membedakan diri dari para perempuan Armenia. Sekarang jika kita menengok ke negara-negara seperti Ethiopia, Eropa Timur,  Asia Tengah maupun Timur Tengah kita tidak akan bisa membedakan mana perempuan yang muslim dan yang bukan karena ketika bersembahyang dan dalam kesehariannya banyak dari mereka yang senantiasa menggunakan kerudung atau penutup kepala.

[caption id="" align="alignnone" width="576" caption="Para perempuan Rusia (http://bet-midrash.blogspot.com)"]

Para perempuan Rusia (http://bet-midrash.blogspot.com)
Para perempuan Rusia (http://bet-midrash.blogspot.com)
[/caption]

Fenomena demikian juga berlaku bagi kaum laki-laki. Kaum laki-laki dalam berbagai peradaban terbiasa memakai songkok, topi, kopiah dan sejenisnya terutama ketika berhadapan dengan para pemimpin, pemuka-pemuka negara, hakim dan ketika bersembahyang. Tradisi ini dimaksudkan untuk memuliakan dan menghormati mereka yang lebih tinggi pangkat dan kekuasaannya, sekaligus sebagai ekspresi kelemahan serta ketundukan diri di hadapan Allah. Bentuk penutup kepala ini biasanya disesuaikan dengan budaya dan status sosial masing-masing.

[caption id="" align="aligncenter" width="196" caption="Benazir Bhutto (caramafia.blogspot.com)"] [/caption] [caption id="" align="alignnone" width="259" caption="Indira Gandhi (iloveindia.com)"][/caption]

Masalah busana adalah  masalah budaya dan tradisi yang tak jarang asal usulnya berakar dari beragam unsur budaya dan tradisi masyarakat yang selalu berkembang. Unsur-unsur itu kemudian mengalami akulturasi, saling berinteraksi dan mengalami percampuran sekalipun bersumber dari beragam kepercayaan dan doktrin. Contoh, Benazir Bhuto, PM Pakistan selalu mengenakan kain yang menutup separuh bagian belakang rambutnya dan separuh bagiannya tersingkap. Model demikian juga dipakai oleh Indira Gandhi, PM India. Pada suatu sisi, model kerudung Butho diklaim sebagai busana Islami sementara di sisi lain busana tersebut sudah lazim dikenakan di wilayah semenanjung India baik muslimah maupun bukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun