Mohon tunggu...
Titin Murtakhamah
Titin Murtakhamah Mohon Tunggu... profesional -

Merayakan kehidupan dengan riang gembira

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Apa Enaknya Bersalaman?

31 Mei 2015   11:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salaman atau berjabat tangan. Jika Anda sering melakukan jual beli emas, di Yogyakarta ada toko emas bernama Salaman. Letaknya di utara Pasar Beringharjo. Saya tahu karena beberapa kali mengantar Ibu ke sana.  Terakhir ke sana seingat saya ketika mengantar calon bojo membeli perhiasan untuk maskawin pernikahan kami, sekitar 10 tahun lalu. Setiap membeli perhiasan biasanya dikasih dompet kecil atau kotak khusus perhiasan yang ada cap/gambar dua telapak tangan bersalaman.

Iseng, saya pernah bertanya kepada Encik yang punya toko soal lambangnya itu. Menurutnya, setiap transaksi di tokonya bisa dilakukan dengan negosiasi dan tawar menawar harga sampai dicapai kesepakatan yang disimbolkan dengan jabat tangan. Intinya mereka ingin agar pembeli dan penjual sama-sama untung. Bersalaman juga simbol perdamaian, katanya. Sayangnya saya tidak bisa membedakan tangan yang bersalaman di gambar itu tangannya perempuan dengan perempuan, laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan laki-laki.

Dalam praktik berbudaya, salaman telah menjadi tradisi. Misalnya saat bertemu atau berpisah dengan kawan, sungkem kepada orang yang lebih sepuh (tua), saat memberi selamat atau apresiasi kepada seseorang, bersalaman dengan orang di kiri-kanan kita ketika sehabis sembahyang atau saat memberi salam tempel. Semua berlangsung seperti biasa.

Sampai suatu hari saya mendapati diri saya tidak mau bersalaman dengan lawan jenis. Setiap ada yang mengulurkan tangan, saya menolaknya dengan cara menangkupkan kedua telapak tangan dan meletakkan di dada berharap orang tersebut mengerti dan mengormati pilihan saya. Saya bangga telah memilih itu. Pilihan itu tentu didasari atas pemikiran bahwa bersalaman dengan lawan jenis berpotensi fitnah seperti menyentuh kulit lawan jenis bisa menimbulkan rangsangan seksual sehingga haram (tidak baik) untuk dilakukan. Maka dalam acara wisuda di beberapa perguruan tinggi, wisudawati yang menolak bersalaman memakai kaos tangan sebagai simbol. Kalau wisudawan dengan simbol apa ya?

Beberapa kawan, rekan kerja dan orang-orang terdekat yang melihat perubahan itu tentu saja terkejut dan saya yakin melakukan rasan-rasan, dianggap sok sucilah, tidak menghargailah dan sebagainya. Tapi saya keukeh dengan prinsip itu. Bukankah saya sedang menegakkan ajaran agama? Jadi semua omongan tidak saya tanggapi. Semua pilihan pasti ada resikonya, pikir saya. Sampai kemudian sebuah proses yang tak sebentar mengubah pilihan itu. Saya kembali kepada pribadi yang melihat bahwa bersalaman adalah tradisi dan budaya yang baik sepanjang dilakukan secukupnya. Bagi saya bersalaman adalah simbol untuk menguatkan silaturahim, salam damai dan kehangatan perkawanan baik itu dilakukan sesama jenis maupun lawan jenis. Namun jika ada laki-laki yang bukan muhrim menolak bersalaman dengan saya tentu saya tetap menghargai pilihannya itu. Saya tidak akan sakit hati. Toh semua orang punya pilihan, meski kadang pilihan pun bisa berubah. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun