Mengenal Lebih Dekat Pusat Krisis Perempuan di Indonesia
Pusat Krisis Perempuan (PKP) atau Women’s Crisis Center (WCC) adalah sebuah jaringan kerja atau organisasi yang bertujuan untuk membantu para perempuan yang sedang dalam kondisi krisis akibat kekerasan yang dialaminya. Pusat krisis perempuan pada awalnya digagas oleh para feminis Inggris pada awal tahun 1970-an untuk menyediakan tempat pengaduan bagi perempuan korban kekerasan rumah tangga lengkap dengan rumah amannya (shelter). Pada masa ini kampanye mulai dilakukan untuk menentang masalah pemukulan terhadap isteri dan para aktifis tersebut mulai membicarakan pentingnya layanan rumah aman bagi perempuan yang lari dari rumahnya untuk menyelamatkan diri dari pasangannya. (Silawati, 2001)
Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2011 menunjukkan bahwa terdapat 119.107 kasus kekerasan yang ditangani oleh lembaga penyedia layanan sepanjang tahun 2011. Kasus kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi kasus yang paling banyak ditangani oleh lembaga penyedia layanan 113.878 kasus (95,61%). Sebanyak 5.187 kasus (4,35%) terjadi di ranah publik, dan sisanya 42 kasus (0,03%) terjadi di ranah negara. Perempuan dalam usia antara 25 hingga 40 tahun adalah yang paling rentan kekerasan, meskipun data yang dihimpun menunjukkan korban berusia 13 hingga 40 tahun. Selain itu, bahwa jumlah kasus terbanyak ditangani adalah di provinsi Jawa Tengah (25.628 kasus), disusul Jawa Timur (24.555), Jawa Barat (17.720) dan DKI Jakarta (11.286). Jumlah korban lebih menunjukkan kuantitas dan kapasitas lembaga layanan yang tersedia pada daerah itu (http://www.komnasperempuan.or.id/wp-ontent/uploads/2012/03/catahu2012revisi-Komnas-Perempuan.pdf). Perlu digarisbawahi bahwa jumlah ini hanya menunjukkan puncak gunung es dari persoalan kekerasan terhadap perempuan, sebab masih banyak perempuan korban yang enggan atau tidak dapat melaporkan kasusnya.
Di Indonesia, sepengetahuan penulis, pusat krisis perempuan pertama diinisiasi oleh Rifka Annisa Yogyakarta yang memulai layanannya pada tahun 1993. Selain melakukan pendampingan untuk perempuan korban kekerasan, lembaga ini juga melakukan sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat luas mengenai masalah kekerasan terhadap perempuan dan keadilan gender. Lembaga ini juga melakukan upaya strategis dalam rangka perubahan kebijakan maupun perubahan sikap para penegak hukum berkaitan dengan isu kekerasan terhadap perempuan. Setelah itu di Jakarta berdiri Mitra Perempuan pada tahun 1995 yang juga melakukan hal sama.
Sejak terbitnya kebijakan pengarusutamaan gender pada tahun 2000 dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan nasional, Pemerintah melalui Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP) telah membuat komitmen politik bahwa perempuan dan anak merupakan sasaran pembangunan di semua bidang dan program pembangunan. Oleh karena itu diperlukan peraturan perundang-undangan dalam rangka meneguhkan komitmen tersebut, antara lain UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Perkembangan yang cukup baik dapat dicatat dengan semakin banyaknya lembaga yang menyelenggarakan pelayanan untuk perempuan dan anak korban kekerasan berbasis gender baik oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, rumah sakit maupun masyarakat secara umum. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2010 menunjukkan bahwa pemerintah sudah mendirikan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak  (P2TP2A) di tingkat kabupaten/kota berjumlah 102 dan 19 di tingkat propinsi. Sedangkan Pusat Krisis Terpadu (PKT)  di rumah sakit berjumlah 20 buah dan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di lingkungan Rumah Sakit Bayangkara berjumlah 43 buah.
Sedangkan layanan yang diselenggarakan oleh masyarakat belum diketahui secara pasti jumlahnya. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada tahun 2008 mencatat terdapat 215 lembaga penyelenggara layanan korban kekerasan perempuan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat dan telah menjadi mitra Komnas Perempuan. Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2010 mencatat ada sekitar 35 lembaga swadaya masyarakat, yang mempunyai program penghapusan eksploitasi seksual anak, termasuk bagi korban perdagangan orang. Kegiatan yang dilakukan lembaga tersebut mulai dari pendampingan korban, menyediakan shelter untuk korban, pendidikan masyarakat, pendidikan kesehatan reproduksi remaja, kampanye antitrafiking, kajian, dan advokasi peraturan daerah tentang perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan termasuk diantaranya perdagangan orang dan eksploitasi seksual. Tim Penggerak PKK juga telah melakukan kegiatan pelayanan berbasis masyarakat dalam membantu pencegahan terjadinya kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perdagangan orang.
Pusat Krisis Perempuan melayani perempuan (dan anak) korban kekerasan berbasis gender atau kekerasan terhadap perempuan yang diduga bertujuan atau berakibat merendahkan martabat perempuan baik psikis, fisik, ekonomi dan seksual seperti kekerasan isteri, kekerasan dalam pacaran, perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan perempuan dalam keluarga, kekerasan akibat trafiking (perdagangan orang). Secara umum layanan untuk perempuan korban kekerasan dapat diakses secara gratis dan dijamin kerahasiaannya.
Pada umumnya Pusat Krisis Perempuan mempunyai program:
1.Pendampingan korban
Pendampingan korban dapat berupa konseling psikologis, hukum, spiritual, ekonomi, sosial dan kesehatan. Konseling ini dapat dilakukan secara tatap muka, namun juga dapat dilakukan melalui telepon maupun surat. Pendampingan hukum biasanya juga tersedia, meskipun tidak semua PKP mempunyai pengacara sendiri. Konselor yang bertugas biasanya juga merangkap sebagai paralegal karena keterbatasan tenaga pengacara. Jika mereka tidak dapat menyelenggarakan pendampingan hukum, biasanya korban akan diupayakan rujukan kepada para pengacara atau lembaga-lembaga lain yang mempunyai pendamping hukum.
2.Rumah aman
Fasilitas ini dibuat untuk melengkapi layanan konseling, utamanya untuk korban yang terancam jiwanya misalnya dikejar-kejar pasangannya atau pelaku kekerasan, tidak diterima oleh lingkungan atau memang membutuhkan tempat untuk menenangkan diri. Bagi pusat krisis yang tidak mempunyai rumah aman biasanya akan merujukkan ke lembaga lain yang menyediakan rumah aman.
Beberapa PKP yang didirikan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat biasanya mempunyai program  di luar program utama tersebut yaitu:
1.Penjangkauan Korban (Outreach)
Adakalanya korban bertempat tinggal sangat jauh dari keberadaan PKP sehingga petugas akan datang langsung untuk menemui korban di mana korban berada/ditemukan. Petugas akan memberikan informasi terkait layanan yang bisa diakses oleh korban. Program ini seringkali karena rujukan dari kepolisian terdekat dengan tempat kejadian perkara atau kasus yang dimuat di media massa di mana korban butuh didampingi tetapi belum ada yang mendampingi atau jauh dari PKP. Namun tidak semua PKP mempunyai program ini.
2.Kunjungan rumah (home visit)
Adalah sistem yang diperuntukkan untuk memantau perkembangan korban pasca penanganan. Program ini dapat dilakukan dengan kunjungan langsung ke rumah korban (dengan cara-cara tertentu yang aman bagi korban) atau melalui kontak telepon. Program ini juga berguna untuk menggalang kesadaran di lingkungan terdekat korban.
3.Support Group
Adalah kelompok yang terdiri dari para korban dengan jenis kekerasan yang sama, yang dibentuk untuk memfasilitasi korban berbagi rasa, membangun kekuatan dan kepercayaan diri berdasarkan tukar pengalaman antar mereka sendiri. Selain itu, support group juga dimaksudkan agar mereka tidak merasa sendiri dan juga terjadi proses pembelajaran dan pemberdayaan antar korban.
4.Advokasi dan Pendidikan Masyarakat
Beberapa pusat krisis perempuan yang berbasis LSM biasanya menyelenggarakan program advokasi yang fungsinya antara lain untuk membangun opini publik, penyadaran masyarakat, perubahan kebijakan dan membangun sistem pendukung dalam pemberian layanan terhadap perempuan korban kekerasan. Karena pusat krisis perempuan bekerja langsung dengan korban kekerasan, maka data kasus yang dipunyainya menjadi sangat berharga dan penting sebagai bahan advokasi.
Unsur-unsur pendukung dalam Pusat Krisis Perempuan adalah:
1.Konselor, baik konselor psikologis maupun hukum
2.Petugas administrasi
3.Petugas pencatat kasus
4.Petugas yang bertanggung jawab dalam pendidikan masyarakat
5.Petugas yang bertugas sebagai humas dan membangun jaringan kerja
6.Unsur-unsur eksternal seperti (lembaga-lembaga rujukan)
Pusat Krisis Perempuan tidak dapat bekerja sendiri. Lembaga lain yang terkait erat dengan kerja sebuah pusat krisis adalah kepolisian, rumah sakit dan pengadilan. Namun di luar itu masih banyak institusi lain yang penting untuk dijadikan sebagai rekan kerja dalam upaya advokasi misalnya media massa, ormas, LSM, dinas-dinas terkait dll.
Pusat Krisis Perempuan dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk yakni:
1.PKP berbasis insitusi
Adalah PKP yang memakai struktur kelembagaan formal, memiliki bangunan kantor, memerlukan banyak ahli dari berbagai bidang serta memerlukan kerja sama dengan berbagai pihak. PKP jenis ini banyak berdiri di perkotaan, contohnya berbagai  P2TP2A yang berada di wilayah ibukota kabupaten/kota, Rifka Annisa Yogyakarta, Mitra Perempuan Jakarta, Pulih Jakarta, Yayasan Buengong Jeumpa Aceh, WCC Palembang, SP Labuan Batu, WCC Nurani Perempuan, WCC Prajna Paramita Jambi, WCC Cahaya Perempuan Bengkulu, WCC Mawar Balqis Cirebon, LRC KJHAM Semarang, Rumah Perempuan Kupang, LKBH UWK Kalimatan Selatan, SP Anging Mamiri Makasar, Yayasan Arikal Mahina Maluku, LP3AP Jayapura dll.
2.PKP berbasis Komunitas
Suatu sistem pemantauan terhadap kekerasan perempuan berbasis gender dan pelayanan terhadap korban yang kekerasan dengan berdasarkan pada tatanan, struktur dan mekanisme masyarakat lokal yang berkeadilan gender. PKP jenis ini tidak memiliki landasan pendirian lembaga formal (akte pendirian dll), tidak harus punya kantor karena pertemuan dapat dilakukan di rumah-rumah anggota atau memanfaatkan kantor/desa serta tidak punya struktur kelembagaan formal. Para anggota bekerja atas dasar kerelawanan.
Beberapa PKP berbasis institusi sudah banyak yang menginisiasi program ini, sehingga diharapkan semakin banyak korban yang dapat dilayani. Jika di Yogyakarta kita bisa melihat Huma (Huria Maisa) di kawasan Cokrodiningratan dan Ngudi Lestarining Budi di daerah Playen Gunung Kidul. PKP berbasis komunitas juga banyak tumbuh di wilayah konflik, bencana serta daerah pengungsian yang biasanya didirikan secara spontan oleh para relawan.
3.PKP berbasis Satu Atap di Rumah Sakit
Penyediaan sistem layanan terpadu (medis, psikologis dan hukum) dalam satu atap di rumah sakit. Pusat Krisis Terpadu pertama di Indonesia berada di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dan sekarang sudah banyak diikuti oleh rumah sakit-rumah sakit lain di daerah.
Pendekatan yang dipakai oleh Pusat Krisis Perempuan mencerminkan kepeduliannya kepada para perempuan korban kekerasan. Pendekatan ini terutama sekali akan tercermin dalam konseling dan pendampingan kita kepada korban, juga pendidikan kepada masyarakat. Dalam konseling diharapkan menggunakan teknik konseling yang berperspektif gender dengan antara lain menerapkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:
-Asas tidak mengadili
-Membangun hubungan yang setara antara konselor dan korban
-Asas pengambilan keputusan sendiri
-Asas pemberdayaan
Dalam menangani kasus-kasus tersebut, pada umumnya PKP di Indonesia telah menyediakan tenaga konselor dan tenaga khusus pencatat data. Layanan yang diberikan umumnya dari pagi hingga sore, kecuali untuk kasus-kasus darurat ada beberapa lembaga yang menyediakan hotline 24 jam, misalnya Rifka Annisa Yogyakarta. Kondisi darurat adalah apabila korban terancam keselamatannya atau membutuhkan pertolongan segera (misalnya baru saja menjadi korban penganiayaan atau perkosaan) atau pada kondisi psikologis yang sangat berat misalnya ingin bunuh diri atau membunuh. Di beberapa rumah sakit misalnya RS Panti Rapih Yogyakarta, program ini bersinergi dengan UGD 24 jam.
Sebagian besar PKP sudah mengembangkan sistem rujukan yang meliputi advokasi, audiensi, jaringan kemitraan, koordinasi, rujukan dalam menangani kasus, sosialisasi berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan dan penanganannya. Sistem rujukan ini dimaksudkan untuk memudahkan korban dalam mendapatkan pelayanan dan juga menjaga keamanan dan kenyamanan korban selama penanganan. Untuk mendapatkan pelayanan medis korban bisa datang ke rumah sakit terdekat atau jika ingin melapor, korban bisa datang ke kepolisian terdekat ke bagian Unit Pelayanan Perempuan. Contoh, jika korban datang ke RS Panti Rapih korban akan diperiksa kesehatannya, sekaligus mendapatkan informasi bahwa ada lembaga yang bisa mendampingi misalnya Rifka Annisa, demikian pula sebaliknya. Atau jika korban datang ke kepolisian dan pihak kepolisian merasa kesulitan dalam penanganan kasus, korban dapat diinformasikan untuk mendapatkan pendampingan dari PKP.
Sistem rujukan ini seringkali diinstitusionalisasikan lewat nota kesepakatan kerjasama (SOP). Dengan adanya nota kesepakatan ini, sebagai contoh, permintaan visum dapat dilayani segera dan tanpa biaya. Namun, tidak semua PKP memiliki nota kesepakatan yang penting ini. Masih pula ditemukan keluhan bahwa nota kesepakatan yang telah ada pun belum dapat dilaksanakan dengan baik, khususnya dalam hal koordinasi.
Meski jumlah Pusat Krisis Perempuan sudah semakin banyak, namun banyak kendala yang ditemui. Catatan dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa sebagian pertugas belum memiliki kemampuan dalam penanganan kasus. Mereka seringkali hanya melakukan pencatatan tanpa disertai empati kepada korban, bahkan seringkali menyalahkan korban. Proses penangangan kasus juga tidak ditindaklanjuti dengan cepat.
Dalam hal pelayanan kesehatan belum semua rumah sakit menyediakan dokter spesialis jiwa, psikolog atau tenaga konselor terlatih. Ketersediaan sarana pelayanan kesehatan untuk mendukung pelayanan korban juga masih jauh dari target. Hal ini disebabkan karena kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan dampak dari berbagai faktor kesehatan sehingga bukan sebagai program utama disamping belum tersedianya regulasi di sebagian besar daerah untuk mendukung pelayanan kepada korban.
Layanan bantuan hukum melalui lembaga bantuan hukum di tingkat kabupaten/kota juga masih sulit diakses oleh korban, selain karena terbatasnya tenaga profesional yang terlatih, juga seringkali tidak ada pengacara/advokat di kabupaten-kabupaten tertentu, yang bersedia memberikan layanan secara cuma-cuma (probono). Bahkan, korban banyak yang tidak memahami bahwa mereka juga berhak untuk mendapat pendampingan hukum.
Selain beberapa hal tersebut di atas, salah satu kendala yang masih dihadapi adalah masih minimnya sosialisasi dan pendidikan/pelatihan khusus untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bagi aparat penegak hukum (polisi/jaksa/hakim), sehingga hak-hak korban belum dapat terpenuhi. Sebagian aparat penegak hukum belum menggunakan peraturan perundang-undangan yang baru terkait dengan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Demikian sekelumit tentang Pusat Krisis Perempuan di Indonesia. Banyak hal yang masih perlu diperbaiki dalam hal pelayanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan. Semoga itu menjadi perhatian kita. Selamat Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2013.
Sumber Informasi:
-Pengalaman penulis bekerja di Pusat Krisis Perempuan Rifka Annisa Yogyakarta
-Hartian Silawati, Menggagas Women’s Crisis Center di Indonesia, Rifka Annisa, 2001
-Komnas Perempuan, Catatan Tahunan, 2008
-Komnas Perempuan, Catatan Tahunan, 2011
-Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Standar Pelayanan Minimal, Bidang Pelayanan Terpadu untuk Perempuan dan Anak, 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H