Beberapa saat lalu, dalam sebuah pelatihan kami diminta untuk bermain peran. Kami berasal dari berbagai suku bangsa dan dikelompokkan secara acak. Kebetulan saya satu tim dengan orang Jawa dan Aceh. Kami diberi kertas tugas yang isinya skenario permainan. Saya dan pasangan saya yang berasal dari Aceh memerankan suami istri yang sedang berkonflik. Saya merasa betul-betul menjiwai peran itu. Kami seperti benar-benar bermusuhan. Anehnya, perasaan benci kepada pasangan saya itu serasa muncul perlahan. Melihat mimik mukanya, gestur tubuhnya, ucapan-ucapannya dan pandangan-pandangannya terhadap saya sebagai pasangannya. Benar, saya akhirnya betul-betul membenci pasangan saya. Itu bisa terlihat dari ucapan-ucapan saya yang mulai asal-asalan, misuh dan gampang menuduh. Bukti itu didukung dengan gerak tubuh saya yang mulai menjauh dari tubuhnya dan tidak mau diajak bersalaman. Beruntungnya, tangan saya tidak bergerak maju, menampar mulutnya misalnya.
Bermain peran sering pula saya pakai ketika memfasilitasi pelatihan. Tujuannya adalah agar peserta belajar mengalami sendiri peran-peran dalam situasi tertentu, mengeskpresikannya bahkan melepaskan perasaannya disertai pelibatan sikap, nilai dan keyakinan. Di akhir sesi biasanya proses ini akan dianalisis bersama-sama.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Philip zimbardo – Stanford Prison Experiment - ia meminta bantuan sukarelawan untuk rela bermain peran sebagai sipir penjara dan narapidananya untuk 2 minggu penuh. Penelitian ini melibatkan orang-orang yang sama sekali tidak punya sejarah masuk penjara atau melakukan tindak kriminal apapun, dapat dikatakan bahwa mereka semua orang baik-baik. Dari awal penelitian, mereka betul-betul diskenariokan sebagai narapidana, mulai dari dijemput di rumah masing-masing dengan mobil polisi dan borgol dari polisi, hingga aturan-aturan di penjara simulasi yang terletak di ruang bawah tanah Universitas Stanford. Hari-hari pertama penelitian berlangsung sesuai perkiraan, namun pada beberapa hari setelah itu, ada kejadian-kejadian di luar dugaan. Para sipir mulai bertindak di luar instruksi dengan alasan 'mendidik' para napi yang tidak disiplin, diikuti dengan reaksi melawan dari napi. Bahkan ada salah satu napi yang sampai tantrum dan akhirnya harus dikeluarkan dari penelitian karena khawatir akan mendapati efek negatif dari eksperimen tersebut. Karena kekacauan yang terus menerus terjadi, penelitian tersebut diakhiri hanya dalam waktu seminggu
Dari pengalaman saya dan percobaan yang dilakukan Zimbardo ada kemiripan, yakni lingkungan/situasi tertentu adalah faktor yang sangat kuat untuk merubah perilaku seseorang. Dalam hal ini orang baik bisa berubah menjadi jahat. Terlihat bahwa awalnya saya hampir tidak punya masalah apapun dengan pasangan saya itu sampai akhirnya dimasukkan dalam situasi tertentu, bibit kebencian mulai muncul. Dan, jika diteruskan sebuah kejahatan bisa saja terjadi. Tentu kebencian itu tidak serta merta muncul begitu saja. Bayangan saya mengenai pasangan saya sangat dipengaruhi oleh bias tentang Aceh berikut laki-lakinya, hukum-hukum syariatnya yang sering membuat perempuan terdiskriminasi. Bias itu bersatu dengan situasi yang benar-benar saya hadapi dalam permainan peran. Tumpah ruahlah semuanya menjadi kebencian.
Saya pernah ke Aceh, mengenalnya sekilas tetapi itu tidak cukup untuk menjadi modal memahaminya secara lebih baik. Bias yang muncul dan sebagiannya diyakini kebenarannya oleh lingkungan pergaulan saya menjadi begitu berbahaya. Baiklah, dari permainan ini saya melihat dalam situasi tertentu betapa pentingnya individu yang percaya diri dan mampu berpikir kritis  bukan individu yang mempertahankan kepercayaan kelompok demi menjaga harmoni.
Satu alasan untuk tetap menjaga individualisme dan yang terpenting, berpikir kritis. Kebenaran tidak selalu berada di suara kelompok. Jangan biarkan bias membuyarkan pandangan kita akan satu kejadian. Pemikiran kritislah yang dibutuhkan dalam membuat penilaian.
Nah, sekarang, peran apa yang sedang engkau mainkan??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H