Mohon tunggu...
MUHAMMAD MUNADI
MUHAMMAD MUNADI Mohon Tunggu... Dosen - Berbagi Ilmu Berbagi Manfaat

Bermanfaat bagi semua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mural (yang) Bermoral: Moral-(itas) Mural

22 Agustus 2021   18:42 Diperbarui: 22 Agustus 2021   18:43 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mural yang paling banyak diingat pada benak ingatan kolektif pada bangsa ini kemunkinannya adalah  Gambar senyum khas Pak Harto dengan   ditambah jargon: Piye Kabare?  Enak Jamanku to?  Tetapi mural ini  tidak  banyak digambar di tembok-tembok warga tetapi justru berada di  bak-bak truk... gara-gara ini memori mengingat masa silam semua kebutuhan rakyat serba murah dan terjangkau bagi masyarakat...   meski ada pengekangan secara politik.

 Mural ini sebenarnya menjadi tamparan keras bagi  Pimpinan negeri ini di era Reformasi. Era Reformasi memang ada kebebasan politik dan sosial tetapi kurang adanya ketahanan pangan bagi rakyat. Walaupun ada mural seperti itu, pemerintah tidak menghapusnya.  

Bagaimana menghapusnya? kalau rata-rata mural tersebut berada di bak-bak  truk tiap hari dilihat dan dibaca oleh orang-orang yang berada di belakang truk ketika perjalanan pergi dan pulang kerja. 

Sepertinya pemerintahan saat itu merasa itu kritik yang membangun atau mungkin merasa kritik itu benar adanya. begitupula masyarakat ketika melihat itu juga akhirnya ada sisi hiburan dan menganggap sebuah "kenangan" berbangsa dan bernegara bahwa pernah suatu masa ketika ada seorang Presiden yang peduli kepada rakyat miskin karena pernah merasakan betapa getirnya menjadi orang miskin. 

Reaksi yang berbeda bahkan berlebihan terjadi saat pemeritahan orde reformasi yang telah berlangsung 20an tahun terhadap mural dari kritikan masyarakat. Mestinya pemerintah harus sadar bahwa mereka menjadi Pimpinan negeri ini hasil dari reformasi yang  mestinya tidak reaktif terhadap kritik seperti amanat agenda reformasi 1998. 

Mural yang mengkritik sebenarnya menunjukkan sudah tidak adanya saluran kritik pada lembaga-lembaga resmi terutama disfungsi lembaga-lembaga perwakilan seperti DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota bahkan BPD di tingkat desa. Kritik tersebut tidak hanya tertuju pada lembaga eksekutif saja tetapi legislatif sekaligus yudikatif. Pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) tidak hadir di tengah-tengah masyarakat/rakyat yang butuh pengayoman.

Disamping itu, mural yang dibuat rakyat juga ada manfaatnya. Mural sudah ada sejak dulu di tembok-tembok dan di kereta api (bagi yang  ingat dan pernah baca minimal buka Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka) saat awal kemerdekaan. Mural itu untuk menyemangati rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan. Disinilah ada mural bermoral sekaligus Moral dalam Mural.

Jadi jangan terlalu baper dan jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah) dalam melihat mural yang bermuatan kritik. Kritik itu ibarat jamu/obat yang bisa menyehatkan.. Tetapi  pujian ibarat "permen" atau yang manis-manis bisa berakibat sakit tenggorokan, pilek, bahkan sakit flu...      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun