Mohon tunggu...
Titik Kartitiani
Titik Kartitiani Mohon Tunggu... -

Writing is sharing, www.kartitiani.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tentang Mas Sabar yang Akan Memanjat Monas

17 November 2013   23:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:02 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1384705850874285123

Kekuatan itu ada di hati, bukan di fisik. Kakiku memang cuman sebelah, tapi hatiku kan masih utuh...

[caption id="attachment_292870" align="alignleft" width="612" caption="Ternyata saya tidak punya fotonya, karena merasa tetangga. Ini foto profil di Kompas, 2011"][/caption] Itu kata Mas Sabar (sekarang panggilannya Sabar Gorky, setelah ia berhasil meraih Puncak Elbrus). Saya kembali membaca catatan yang saya tulis 9 Juni 2011, gara-gara membaca rencana pemanjatan Monas oleh Mas Sabar, 8 Desember mendatang. Ini catatannya dengan sedikit editan: Bermimpilah semimpi – mimpinya, karena mimpi itu mengawali tujuan.Mimpi bisa sangat beragam bagi setiap orang. Ada yang menggantungkan mimpinya demi sebuah kehidupan yang nyaman. Punya rumah megah, mobil bagus, kaya, lengkap dengan keluarga harmonis dan anak yang manis – manis. Tapi ada pula yang rela hidup ‘ala kadarnya’, rumah yang cukup melindungi dari panas dan hujan, tapi punya langkah yang teramat panjang. Menapakkan kaki di puncak – puncak tertinggi di dunia. Mimpi yang kedua ini tidak umum dan menjadi susah dimengerti. Seperti itulah mimpi Mas Sabar – pemanjat berkaki satu (Sosok di Kompas, Senin 6 Juni 2011). Hari Sabtu, 4 Juni lalu, tanpa direncana saya, Sausan dan sekeluarga kawan saya (dulu kami sama-sama Mapala di Faperta UNS) main ke rumah Mas Sabar. Ide awalnya sih hanya pengin makan di mie ayam Pak Ho yang warungnya nempel di kost saya jaman kuliah. Setelah makan, kami mampir ke rumah Mas Sabar yang rumahnya di samping kost saya kala itu. Sekian waktu berselang, ketika saya mampir lagi kemarin, Mas Sabar masih sama. Tertawa lepas dan hangat dalam persahabatan. Melihatnya bercerita tanpa keluh kesah, membuat saya menilik pada diri saya. Kalau dilihat secara umum, mungkin saya mendapat banyak hal yang Mas Sabar tak punya. Minimal tubuh yang lengkap. Kaki kanan Mas Sabar direnggut roda kereta saat dia masih SMA. Bukan hal mudah bangkit dari keterpurukan macam itu. Tapi kenapa saya tak bisa tertawa selepas dia, bersyukur seikhlas dia, bersikap apa adanya, tak malu dengan yang kita punya. Dengan hangat, dia mempersilakan kami masuk di kiosnya.  Kios kecil yang menyediakan alat-alat naik gunung dan jasa perbaikan.Ada mesin jahit yang digunakan Mas Sabar untuk menjahit carrier, tenda atau alat – alat gunung yang rusak. Bukan toko besar yang banyak dagangan, tapi terlihat dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Sebilah silet yang tergeletak di dekat mesin jahit itu membuat saya membayangkan bagaimana dia bekerja menjahit dengan satu kakinya. Kalau malam, dia membuka angkringan yang diberi judul Mapala (makan pake lauk saja) di samping kiosnya. Itulah yang menghidupi Mas Sabar berserta istri dan satu putrinya. Bukan hidup yang mewah, bahkan mungkin jauh dari cukup. Tapi toh mereka tetap bisa tersenyum menyambut kami. senyum yang tidak dibuat - buat. Sekian lama kami tak bertemu, banyak prestasi yang diraih Mas Sabar. Termasuk menjadi peraih medali emas dalam satu perhelatan internasional. saat saya datang, dia sedang mengumpulkan dana untuk mendaki ke Elbrus dan Kilimanjaro yang dinamakan Ekspedisi Merdeka. Salah satunya Minggu lalu, dia memanjat Tugu Selamat Datang di HI untuk penggalangan dana. “Yakin Mas, masih kuat ?” tanya saya. Dalam hitungan saya, Mas Sabar sudah di atas 40 tahun. Walaupun wajahnya tetap tak berubah (awet tua dan awet botak hehehehe), tapi tubuhnya jelas sudah tak seberisi waktu saya terakhir ketemu 10 tahunan silam. Soal fisik, usia takkan pernah bohong. Beda sekali dengan foto yang ada di Kompas saat dia mengenakan helm dan peralatan panjat. Di situ nampak masih gagah. Harapan dan dunia yang ditekuni menjadikan orang lebih kuat dari usia yang sebenarnya. “Kekuatan itu ada di hati, bukan di fisik. Kakiku memang cuman sebelah, tapi hatiku kan masih utuh. Ya kalau tua, memang sejak kamu masuk sini kan aku juga sudah lebih tua dari kamu kan hahahaha,” katanya. Kata itu seperti telak sekali buat saya. “Emm...kalau saya sih sekarang sudah insyaf Mas.” “Ngelepas carrier ? Lha katanya dari Papua” “Hehehehe. Ke sana ga bawa carrier lagi. Bawa koper ala emak emak travelling ” “Iya iya, bener. Insyaf..tapi sedikit hahahaha” Mungkin kebanyakan orang takkan pernah paham dengan apa yang orang – orang macam Mas Sabar ini cari. Jelas bukan sekedar kegagahan yang ditukar dengan nyawa. Mengutip kalimat dalam film ‘Sanctum’ : I just looking for who I’m. Masih saja susah dimengerti. Yang saya rasakan, ketika kita ada di limit antara hidup dan mati, kita akan tahu betapa berharganya hidup. Ketika kita ada di kondisi yang teramat menderita, kita akan menghargai betapa hal kecil yang kita dapat adalah sebuah anugerah yang harus disyukuri. Hal sederhana, ketika kita kehujanan di tengah hutan dalam keadaan lelah dan putus asa, betapa kehangatan tempat tidur di rumah kita adalah tempat terindah, apapun merek dari tempat tidur itu. Saat kita jauh dan tersesat sendirian, betapa berarti keluarga dan orang – orang yang menyayangi kita yang biasanya kita tak pedulikan. Saat tak seorang pun yang bisa menolong, mendadak kita merasa sangat dekat dengan Tuhan. Kira – kira seperti itulah yang saya rasakan. Setiap pejalan selalu punya kata - katanya sendiri. Saya kira tak jauh beda artinya. Akhir kata, saya hanya bisa berdoa, semoga mimpi Mas Sabar bisa terwujud. Mengibarkan merah putih di Elbrus dan Kilimanjaro dengan satu kakinya menapak di puncak es yang diceritakan Ernest Hemingway. Kalau saya cukup bermimpi, bisa melihat langsung puncak itu walau tanpa harus menyentuhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun