Mohon tunggu...
Titik Kartitiani
Titik Kartitiani Mohon Tunggu... -

Writing is sharing, www.kartitiani.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Saat Simbol Negara Pun Dirusak

30 Mei 2014   20:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:56 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya, saya tidak bermaksud untuk menyalahkan pendukung dari salah satu kubu ketika mempublikasikan uang kertas yang tercoret ini. Karena, ini bisa dilakukan oleh siapa saja. Baik pendukung Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Saya hanya ingin share, bagaimanapun sengitnya dua kubu ‘berseteru’ di masa kampanye, kita tetaplah Indonesia.

Beberapa hari yang lalu, anak saya opname di rumah sakit. Bulan ini sudah dua kali opname. Di rumah sakit yang berbeda di Kawasan Tangerang, tapi aturannya sama yaitu harus ada deposit sekian juta sebelum mendapatkan kamar untuk rawat inap. Jangan tanyakan, bagaimana jika tidak punya uang untuk deposit? Saya jadi ingat buku yang ditulis Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sakit (Resist Book, 2004). Begitulah adanya. Untuk deposit ruang inap kelas dua dan obat, saya harus membayar Rp 3.4 juta.

Setelah lima hari, saya kembali ke kasir untuk berhitung. Ternyata deposit yang saya bayarkan masih sisa Rp 341.000,-. Dikembalikan dalam bentuk 3 lembar uang pecahan Rp 100.000,- dan puluhan ribu. Saya tidak langsung melihat detail saat di kasir. Dua hari kemudian, saat akan menggunakan uang tersebut, saya baru perhatikan, ada cap berbau kampanye di salah satu lembar uang Rp 100.000,- ini.

Saya tidak mempermasalahkan kubu siapa yang melakukan. Bisa jadi kubu Jokowi-JK untuk black campaign lawan, bisa juga kubu Prabowo-Hatta untuk kampanye. Yang saya sesalkan, siapapun yang melakukan ini, ia telah dengan sengaja merusak simbol negara.

Saya sering menemukan uang dengan coretan tangan. Ada yang mencoret kata-kata, atau kadang menuliskan nomor telepon. Walau sudah kategori merusak, tapi tindakan ini masih sebatas tindakan iseng. Mungkin ia terinspirasi dari film Serendipity. Memang tak bisa dibenarkan, tapi masih kategori spontan.

14014305531286590071
14014305531286590071

Nah, sedangkan ini, ia mencap dengan cap yang artinya pesan cap terlebih dahulu. Bisa jadi cap dipesan bukan hanya untuk uang, tapi untuk yang lain. Lepas dari itu, tetap saja ‘niat’.

Selain itu, saya kutip KUHP : Bab X. TENTANG PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS (sumber: http://hukumpidana.bphn.go.id)

Pasal 247

Barang siapa dengan sengaja mengedarkan mata uang yang dikurangi nilai olehnya sendiri atau yang merusaknya waktu diterima diketahui sebagai uang yang tidak rusak, ataupun barang siapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia uang yang demikian itu dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya sebagai uang yang tidak rusak, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 248

[Ditiadakan berdasarkan Staatsblad 1938 No. 593.]

Pasal 249

Barang siapa dengan sengaja mengedarkan mata uang yang tidak asli, dipalsu ataudirusak atau uang kertas Negara atau Bank yang palsu atau dipalsu, diancam, kecuali berdasarkan pasal 245 dan 247, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Coba bandingkan, saat kita mendapatkanuang dolar Amerika atau dolar Singapura. Terlipat saja sudah tidak laku. saat kita mendapatkan uang dolar ini, betapa teliti kita merawatnya. Tapi justru uang sendiri, malah dicoreng seperti ini. Tidakkah kita bisa mencintai negeri ini dari hal sederhana yang kita punya?

Demokrasi itu…

Pemilu kali ini memang beda. Hanya ada dua kubu yang bersaing. Itu menimbulkan dua kutub yang saling memanas. Hanya sayang, terkadang kita menjadi lupa, bahwa kubu lawan itu juga bagian dari Indonesia juga. Bagian dari warga negara Indonesia juga. Bahkan tak jarang, mereka adalah tetangga atau saudara kita. Saat kita mendukung capres beda, maka putuslah tali persaudaraan itu.

Boleh saja kita mendukung salah satu kandidat, tapi setidaknya mendukunglah dengan bijak. Tidak menebar kebencian apalagi fitnah. Kita sama-sama menginginkan perubahan (diharapkan) akan terwakili oleh capres pilihan kita. Tapi saat kita sendiri tak berubah, bisakah negeri ini jadi lebih baik?  Jadi, bila memang ingin mengajak orang lain untuk memilih capres yang kita dukung, sebarkanlah keunggulannya. Tanpa harus mengajak bermusuhan.

Kembali ke selembar uang Rp 100.000,- itu. Ada gambar pasangan pendiri negeri ini. Mengingat Soekarno dan pidatonya di US Congress (1956), the 5 guiding of our national life:
1. Believe in God
2. Nationalism
3. Humanity
4. Democracy
5. Social Justice

Lalu tepuk tangan menggema di ruang sidang itu. Saya membayangkan, betapa gagahnya Indonesia yang kala itu dipersonifikasikan oleh Soekarno di dunia internasional. Betapa hebatnya Pancasila yang menggerakkan peserta di forum internasional untuk memberi tepuk tangan. Kita mestinya bangga memilikinya hingga kini.  Juga kehebatan Mohamad Hatta di balik kesederhanaannya. Dua sosok itu, ada di lembaran uang yang dicoret itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun