Mohon tunggu...
Titik Kartitiani
Titik Kartitiani Mohon Tunggu... -

Writing is sharing, www.kartitiani.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jika Pak Ahok Malin Kundang, Cinta Rakyat akan Menangkal Kutukannya

11 September 2014   00:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:04 10980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14103448611427977832

[caption id="attachment_341972" align="aligncenter" width="300" caption="Basuki Tjahaja Purnama usai meresmikan Hotel Hermitage, Menteng/ Foto: Titik Kartitiani"][/caption]

Ia hadir bukan sekadar sebagai poster dan baliho, tapi hadir sebagai ‘Bapak’ yang mendengar segala keluhan. Tetapi juga kerap naik pitam saat ada yang menjengkelkan.

Ada harapan, bahwa permimpin itu begitu dekat dengan rakyat. Makan seperti yang rakyatnya makan. Berbicara seperti rakyatnya bicara. Bekerja keras bersama dengan rakyat yang dipimpinnya. Saat rakyatnya memanggil, dia meninggalkan segalanya untuk hadir.

Saya sudah lama sekali, membayangkan pemimpin semacam itu. Saya pikir, pemimpin macam itu tak akan pernah ada. Hanya ada saat kampanye, saat merayu rakyatnya untuk memilihnya. Setelah itu, seperti panggung yang menyelesaikan kisahnya, layar itu ditutup dan tak pernah dibuka lagi. Seperti rapatnya pintu gerbang sang pemimpin yang mengurungnya di istana megah. Karena sesungguhnya kita tak memilih atau mengangkat pemimpin, tapi penguasa. Yang bergitu berjarak. Yang kemudian lupa dengan keringat apek rakyat yang menjadikannya ada.

Ya, penguasa di segala hal. Bahkan menguasai hak untuk memilih siapa pemimpin yang layak memimpin. Saat mereka menduduki kursi dengan dalih rakyat itu, mereka bisa melakukan apa saja. Membuat keputusan-keputasan yang bahkan rakyatpun tak paham, bagaimana keputusan bisa menyengsarakan? Katanya mereka wakil rakyat, tapi kenapa mendadak menjadi asing? Katanya mereka pemimpin, tapi mengapa tak pernah selesai dengan dirinya sendiri?

Partai Seperti Rumah Yang Menghisap Penghuninya
Partai politik di Indonesia punya sejarah heroik. Pada masa Hindia Belanda, partai politik lahir dengan berbagai azas, ada yang sekuler, ada yang berazazkan agama, tapi punya satu tujuan: perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kita mengenal Serikat Islam, PNI, dan Partai Katolik. Partai politik ini menjadi tonggak kesadaran nasional untuk berjuang melalui diplomasi. Jelas, parpol tidak busuk.

Tapi kemudian, parpol berkembang. Bukan hanya menjadi alat perjuangan nasional, tapi menjadi perjuangan ‘personal partai’ bahkan kepentingan individu anggota partai. Kekuasaan dengan berbagai cara. Memikat rakyat dengan modal (uang) begitu besar.

Ibarat rumah, yang tadinya rumah sederhana yang fungsional untuk aktivitas penghuninya, dengan biaya perawatan sederhana. Kemudian berubah menjadi rumah mewah yang membutuhkan biaya perawatan tinggi, meminta lebih dari penghuninya. Hutang budi pada partai yang memberinya kursi kekuasaan (bukan kursi kepemimpinan), memintanya melunasi dengan melupakan amanah utama yang seharusnya menjadi pemimpin. Rakyatpun menjadi sangat kecewa dengan parpol.

Kekecewaan yang beralasan saat satu per satu anggota parpol yang menjabat jabatan publik mengenakan rompi oranye KPK. Mereka tetap bisa tersenyum saat disorot kamera. Karena (saya menduga) bukan murni kesalahan dia seorang. Dia harus membayar (uang) kepada partai atas apa yang sudah dimilikinya.

Setelah melihat fenomena semacam itu, salahkah bila kemudian kepercayaan pada partai luntur? Akankah 350 juta isi kepala penduduk Indonesia bisa diwakili oleh partai (yang kemudian menduduki anggota dewan) yang hanya terdiri dari segelintir orang? Jika memang dalihnya adalah sila ke-4, pertanyaan saya, apakah memang kepala segelintir orang ini betul-betul ‘hikmat dan bijaksana’ sehingga representatif untuk menjadi wakil rakyat? Termasuk saat memilih pemimpin, apakah betul sama dengan pilihan rakyat di luar gedung parlemen itu?

Pak Ahok yang Milik Rakyat

Kini, saya melihat sosok yang begitu berbeda. Sepak terjangnya memikat media untuk menuliskannya. Juga menuai cibiran bagi lawan-lawan politiknya. Itulah demokrasi. Siapa saja boleh berpendapat. Siapa saja boleh mengritik, mencela, hingga menghujat. Biarlah, demikian adanya, karena negeri ini indah karena perbedaan, termasuk perbedaan pendapat.

Hanya saya, sebagai rakyat, yang walau bukan warga Jakarta, tapi merasa memilikinya. Menyematkan harapan di kelugasannya berbicara. Awalnya saya hanya membaca dari berita, mendengar nada tingginya saat ada ketidakberesan, dan tak segan memecat petugas publik yang tak serius mengerjakan tugas.

Lalu saya benar-benar punya kesempatan untuk bertatap langsung dengannya. Untuk keperluan sebuah tulisan. Saya melihat, bagaimana ia berbicara apa adanya. Tanpa sensor. Kepada siapa saja. Apa yang ada di hatinya, keluar begitu saja. Apa yang ia perjuangkan untuk membenahi Jakarta, terang-terang diungkapkannya.

Termasuk ‘oknum rakyat’ yang tak mudah ia tunjukkan bahwa ada pilihan hidup yang lebih baik. Tapi, tak semua rakyat miskin tak jahat bukan? Ada rakyat yang mengambil kesempatan dan ahistori. Berwajah lemah tapi sebenarnya curang. Pun tak semua pejabat publik selalu jahat. Pak Ahok memilah itu dengan lugas.

Hari ini, 10 September 2014, surat pengunduran diri dari partai yang mengangkatnya pun dilayangkan. Ia mengundurkan diri saat partai tak lagi sejalan dengannya. Kini jelaslah bagi saya, Pak Ahok menggunakan partai sebagai alat perjuangannya (bukan berarti memperalat partai). Ketika ia bergabung dengan Gerindra, ia merasa terwadahi mimpi-mimpinya. Tapi ketika partai itu kemudian menjadi ‘rumah mewah’ yang mengesampingkan tujuan awalnya, keberanian untuk mundur bukan sekadar mencari sensasi. Ia konsisten di jalannya.

Bila si partai mengumpamakan sebagai ibu yang merawat Pak Ahok. Lantas menganggapnya durhaka sebagaimana Malin Kundang, benarkah si partai itu masih seperti ibu yang dahulu? Yang bijak dan memperjuangkan kebaikan sebagaimana seorang ibu? Kita perlu melihat, kenapa si anak melawan sang ibu. Saat ibu lupa menjadi ibu. Bila nanti memang Pak Ahok dikutuk menjadi batu, pasti akan ada penangkalnya. Seperti dongeng ‘Sleeping Beauty’. Akan ada yang memudarkan kutukan itu, yaitu cinta tulus rakyat baik yang berdiri di belakang Pak Ahok.

Salam hormat dan cinta saya untuk Pak Ahok, cinta rakyat biasa yang merindukan pemimpin sepertimu. Mendoakanmu di setiap sujud terakhirku. Agar selalu diberi keselamatan untuk melanjutkan perjuanganmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun