Tak terasa Ramadan sudah memasuki penghujung sepuluh hari pertama. Meskipun rasanya berbeda dengan Ramadan tahun-tahun sebelumnya namun tetap bersyukur karena masih diberikan kesehatan dan kesempatan untuk bertemu Ramadan bersama keluarga tercinta.
Tanpa kita sadari, di balik kegelisahan menghadapi pandemi ini ternyata menyimpan kebahagiaan yang tak pernah bisa dinikmati sebelumnya. Bagaimana tidak, situasi yang mengharuskan kita berada di rumah hingga jangka waktu yang belum pasti, membuat kita mampu melakukan banyak hal yang sebelumnya hanya sebatas angan dan harapan.
Salah satunya berkumpul bersama keluarga tercinta termasuk mendampingi putri semata wayang. Mendampinginya sepanjang hari adalah hal terindah bagiku dan tak ternilai harganya. Betapa tidak, hingga usianya genap 15 tahun belum pernah selama seminggu penuh bersamanya di sepanjang hari. Walaupun tidak pernah ada asisten rumah tangga tapi sejak kecil buah hatiku sudah mengenal sekolah. Ya, sekolah play grup sekaligus tempat penitipan anak karena kedua orang tuanya harus mengais rupiah di luar rumah.
Mungkin ini hikmah yang bisa kutangkap dari ujian Allah. Sekecil apapun nikmat itu selalu kusyukuri. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah usai dipulangkan dari asrama, sudah kubisikkan ke telinganya bahwa ini kesempatan emas untuk mentransfer ilmu. Mulai dengan mengajaknya menulis, membuat blog pribadi, melatihnya memasak hingga menyelipkan nasihat-nasihat ringan yang selama ini jarang kuselipkan karena terpisah jarak dan waktu.
Sedikit memahamkan ke dia tentang peran seorang wanita, kelak akan menjadi istri dan ibu dari anak-anak. Peran yang tidak mudah dilakoni. Karena sehebat-hebatnya karier wanita tetaplah harus menjadi ibu rumah tangga yang mengerti urusan dapur. Terampil memegang peralatan masak, dan mengerti apa saja nama bumbu-bumbu dapur. Jujur saja, saya sendiri paling suka menu rumahan ala-ala hotel termasuk cara penyajiannya. Yang diyakini bisa bikin selera makan melonjak.
Masalahnya, membuat si anak gadis senang memasak itu bukanlah hal yang mudah dan butuh waktu. Kuncinya kudu sabar dan telaten. Meskipun dia mengakui masakan ibunya selalu pas di lidah alias lezatos. Enak banget katanya, setiap kali mencicipi masakanku. Sebetulnya ini bukan kali pertama ia menyanjung tapi rasanya berbunga-bunga juga kala dia selalu memuji masakanku.
Salah satu hal yang memancing agar suka masak adalah memenuhi requestnya. Berulang kali dia minta menu ini dan akhirnya jadi menu sahur kami. Kayaknya dia ingin bernostalgia saat liburan ke Solo nemu menu ini dan cocok di lidahnya. Pas sahur hari kesepuluh, tercatatlah menu Seblak. Awalnya sempat berkelit karena saya sendiri kurang begitu suka. Tapi karena ingin membuatnya bahagia akhirnya kukabulkan juga permintaannya.
Beruntung semua bahan sudah ready jadi tinggal dieksekusi. Konsekuensinya dia harus menyiapkan sendiri semua bahan-bahannya. Untuk membuat Seblak, berikut yang harus disiapkan:
- Bawang putih 3 butir
- Kemiri 1 butir
- Merica ½ sendok teh
- Cabe rawit 2 butir
- Kunyit ½ ruas
- Garam secukupnya
- Penyedap rasa ayam
- Mie kuning satu bungkus
- Makaroni 3 sendok makan
- Sosis 2 buah
- Bakso 6 butir
- Kerupuk udang 2 sendok makan
- Daun bawang 2 batang
- Telur ayam 2 butir
- Ayam suwir secukupnya
- Sayur sawi 1 ikat
Berhubung menu itu akan disantap saat makan sahur, sebelum tidur semuanya sudah disiapkan di dapur agar pas saat bangun tidur tidak kalang kabut. Nah, kalau melihat susunan menu Seblak jelas secara gizi sudah terpenuhi. Untuk karbohidrat tergantikan mie kuning. Protein hewani terkandung dalam telur, ayam, bakso, dan sosis. Sementara protein nabati dalam daun bawang dan sayur sawi.