Meskipun hanya melihat dan membaca dari berbagai media namun bisa merasakan kesedihan dari para tenaga medis dan keluarganya yang mendapat stigma negatif dari masyarakat. Bagaimana tidak, perjuangannya sebagai garda depan dalam pencegahan penyebaran COVID-19 ternyata bertepuk sebelah tangan.
Bisa dibilang perlakuan orang lain ke dirinya tak sebanding dengan saat dia memperlakukan orang lain dengan penuh nilai-nilai kemanusiaan. Tentu bukan hanya karena profesinya sebagai tenaga medis tapi karena panggilan jiwa yang menggiringnya untuk selalu memanusiakan manusia.
Sebut saja Fulan, sejak RS tempatnya bekerja dijadikan rumah sakit rujukan ia terpaksa harus pindah kos karena penghuni lain dan ibu kost tidak mengizinkannya lagi untuk tinggal di sana. Alasan yang logis namun jadi miris. Mereka takut tertular, karena setiap hari Fulan berkecimpung di rumah sakit tersebut dan turut serta mengurusi pasien yang positif corona.
Dengan berat hati akhirnya ia pun berpindah ke tempat lain. Namun kejadian yang sama terulang lagi hingga akhirnya diapun harus tidur di rumah sakit tempatnya mencari sesuap nasi. Haruskah ini terjadi, bahkan tidak hanya satu atau dua namun Fulan-Fulan selanjutnya pun mendapat perlakuan yang sama.
Lewat sebuah akun media sosial, terlontar sebuah pertanyaan retorika dari mereka sang garda depan. Lalu apakah kami juga harus menolak jika ada pasien yang minta bantuan ke rumah sakit karena mereka terbukti terpapar virus corona. Tentu rintihan suara hati mereka pun patut mendapatkan perhatian.
Mereka adalah orang-orang yang pantas mendapatkan perlindungan. Bayangkan jika satu per satu dokter dan perawat akhirnya harus berguguran lalu siapa lagi yang akan merawat mereka yang sakit?
Masih di akun media sosial yang sama. Berita duka itupun datang. Akhirnya sang pejuang corona menghembuskan nama terakhirnya. Perlakuan jenazah coronapun berbeda dari yang lain. Jenazah dibungkus dengan plastik, berlapis kain kafan, lalu diplastik lagi, kemudian dimasukkan kantong jenazah setelah itu baru dimasukkan ke peti jenazah.
Tentu di setiap lapisannya dilakukan dekontaminasi. Jika memenuhi protokol pengurusan jenazah covid-19, jenazah tidak akan menularkan penyakitnya lagi karena bahan plastik yang dipakai tidak tembus air. Dan jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh dibuka lagi.
Dengan memahami hal ini seharusnya masyarakat pun menerima saat jenazah corona harus disemayamkan. Namun kenyataannya ketakutan masyarakat malah semakin manjadi.Â
Dua kali jenazah ditolak saat hendak dikebumikan sontak anggota keluarga pun menangis. Hingga akhirnya jenazah terpaksa dimakamkan di belakang rumah sakit tempatnya bekerja.
Penghormatan terakhir bagi rekan kerja hingga akhir hayatnya adalah kisah nyata yang kini mulai menghiasi kisah sedih para tenaga medis. Atas dasar kemanusiaan mereka memanusiakan manusia tanpa mengharap balasan. Mungkin bukan di dunia tapi nanti di akhirat kelak karena mereka yang meninggal terpapar virus corona termasuk mati sahid terlebih bagi para tenaga medis.Â