Cahaya matahari menuai pagi penuh janji berkilauan menyiram permukaan air seperti berlayar dengan dorongan angin yang semilir lembut menerpa hatiku, tergugah dan tersenyum semanis kuntum kasih yang selalu muncul di bawah rasi jutaan bintang yang menaungiku ketika menerima ungkapan terima kasih untuk setiap doa yang telah dia terima dari sahabatku Asrini atas kelahiran putri pertamanya melalui persalinan normal "Sophia Indah Marcelewich" di Polandia
Beranjak pelan langkahku masuk ke ruang doa menerima inspirasi luar biasa ini, seperti dewi bermahkota yang pernah berlinang air mata bahagia, keyakinanku, dunia Asrini telah dan akan berubah drastis penuh kekuatan cinta dan telah menjadikannya wanita sempurna. Putri matahari jantung hati telah lahir menjerit menantang dunia dengan sangat indah laiknya matahari di ufuk barat menerangi dunia dengan kemuning senja, hal hal biasa pada seorang perempuan tidak akan ada lagi, keajaiban demi keajaban akan datang silih berganti. Kubalas pesan sahabatku itu juga dengan sepenuh cinta, mengucapkan selamat dan sayangku kepadanya. Indahnya buih buih sebuah persahabatan menerpa kaki kaki kami yang telanjang dan berlompatan serta membidikkan biji biji kenari karena riang yang diliputi sendu bahagia
Langit melengkung indah di atas bumi tanah air tempat aku berpijak dan meski aku tidak tahu fatamorgana apa yang menyelimuti Polandia saat ini, kuyakini sepenuh hati Asrini memantulkan cahaya cinta kepada semua sekelilingnya, tentu saja juga kepada orang orang yang dicintai dan mencintainya.
Aku ingin berharap Sophia selalu bangga, membicarakan, memimpikan, meniru penampilannya, selalu mendambakan pertemuan dengan ibunya seperti putri bungsuku, wanita itu 'Asrini' harus selalu ada di hati dan jiwanya, mencintainya, merindukannya karena selalu mendekapnya sepenuh kasih dan cinta.
"Aku menikmatinya"; kataku kepada sahabatku Andien. Dien sempat menyiratkan keheranan melalui matanya, heran akan persahabatan jarak jauh yang sangat inspiratif ini karena melihat mataku yang selalu bening berkaca kaca jika sedang berbahagia. Kata orang; "mata adalah jendela jiwa"** hua ha ha.
Aku tersenyum manis pada Andien saat keluar makan siang bersama. Aku menjamu Andien yang kerap datang dari Jakarta ke Medan untuk mengunjungiku karena aku selalu butuh Dien yang sangat menyayangiku, Dien suka ingat dan tertawa lucu menghiburku saat kiriman biaya kuliahnya di kedokteran terlambat datang dari orang tuanya dulu, aku suka merayu ayah untuk meminjamkan uang sementara buatku dengan alasan macam macam, karena kami sudah bersahabat sejak sekolah menengah atas dan orang tuanya berpindah tugas ke provinsi lain, sementara aku dan Andien lulus di perguruan tinggi negeri yang sama meski berbeda fakultas.
"Luar biasa, bawakan salam bahagiaku juga kepada jiwa yang penuh suka"; kata Andien tertawa
"Ya, pasti dan tentu saja akan kusampaikan"; jawabku sambil tersenyum sangat manis sekali
Pohon pohon akasia yang berjajar di tepi jalan masuk ke restoran itu bergerak dihembus angin yang semilir ke arah kami, aku memandang seperangkat lampu gantung kristal yang menghiasi langit langit yang melengkung, langit biru cerah di atas kami, mewah dan artistik tanpa pendingin ruangan karenanya semua jendela dibiarkan terbuka lebar lebar. Musik lembut mengiringi makan siang kami. Aku ingat bagaimana sulitnya aku melahirkan anak pertama lelaki kembar kami, seharian aku menahan kesakitan sampai akhirnya aku pecah ketuban dan harus dicaesar. Enam tahun kemudian ketika akan melahirkan putri bungsu baru kami mengetahui ternyata ruang panggulku sangat sempit sehingga tidak memungkinkan aku bisa melahirkan normal seperti Asrini saat ini.
Jari jariku mengelus saputangan yang pinggirannya berjahit emas pemberian seorang teman ketika aku melahirkan putriku, saat pesta kembang api sedang berlangsung di kotaku saat itu. Dia mengatakan akan meminang putriku menjadi menantunya, dan saputangan ini adalah down payment maharnya. Lucu dan bahagia sekali saat itu. Bunga bunga api meluncur di langit dan meledak dalam warna warni menawan, merah, kuning, hijau, biru, ungu seakan akan sedang ikut merayakan kelahiran putriku meski aku masuk ruang iccu karena sempat koma beberapa jam setelah selesai operasi. Indah sekali saat itu, seindah hati asrini yang telah melahirkan Sophia Indah saat ini. Aku makan nasi putih dengan daging domba dan paprika yang dimasak suamiku, menyuapiku sepenuh kasih karena telah melengkapi kebahagiannya mempersembahkan seorang putri mungil dan cantik, tidak pernah menyurut doa doanya untuk kesehatanku dan makin berjuang menanggalkan kemiskinannya untukku.
Aku ingin merengkuh Asrini saat ini, memeluknya erat dengan penuh kelembutan. Getaran aneh di dadaku yang merasa sunyi begitu indah setelah berpisah dengan Andien, membuatku ingin menyanyi dan menari seperti bidadari kecil yang baru tumbuh sayap kecilnya tralala..trililii... melodi di hatiku tersenyum kepada Sophia Indah berkat terbaik dan terindah bagi keluarga Marcelewich.