Aku seorang lansia. Dulu aku pernah muda. Di saat seperti ini, menjadi seorang pensiunan tanpa pekerjaan, banyak waktu yang memunculkan ingatan saat belia.
Aku punya banyak teman saat sekolah, dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Tapi yang namanya sahabat, rasanya aku hanya punya satu yang sampai sekarang masih sering jumpa, baik melalui sambungan udara maupun tatap muka.
Dialah Widyowati Purwandari, Wiwi nama panggilannya. Dulu, saat pulang sekolah, aku sering langsung main ke rumahnya yang dikelilingi banyak bunga Anggrek. Bapaknya, Pak Kodari, sangat rajin merawat tanamannya.
Ibu Wiwi pintar masak, salah satunya membuat peyek. Saat mendekati waktu makan siang, beliau  menata meja makan, menaruh piring dan gelas. Di sisi meja diletakkannya teko air minum dan bakul nasi di bagian tengah. Ibu memasak ayam berkuah, aku disuruhnya makan setelah mengganti pakaian. Aku makan dengan lahap seperti orang yang sudah berhari-hari tidak makan. Maklum, di keluargaku jarang masak ayam, kecuali lebaran. Badan yang capai dan perut yang kenyang membuatku langsung masuk kamar Wiwi dan merebahkan diri di samping sahabatku itu. Kami pun tertidur dengan nyenyak sampai sore.
Tak pernah ada yang menyukai perpisahan, setelah lulus Sekolah Menengah Ekonomi Atas, aku harus terpisah dengan Wiwi. Aku pindah ke Purwokerto mengikuti orang tua. Hari-hariku sibuk membantu ibu masak, mencuci baju dan mencari kerja. Beda dengan Wiwi, tak lama setelah lulus, ia menikah dengan pegawai BRI. Aku hadir di resepsi pernikahannya yang diselenggarakan pada malam hari.
Sejak itu, aku dan Wiwi jarang bertemu dan berkomunikasi. Paling hanya mampir ke rumahnya saat menengok nenekku di daerah Pungkuran.
*
Tak disangka-sangka, aku dimutasi ke kantor Purbalingga yang letaknya di seberang rumah Wiwi. Rasa malas menjalani tugas seketika terobati dengan perjumpaan ini. Seperti masa sekolah, tiap hari kami bertemu, berbaring bersama di kamar kos. Perbincangan yang disertai candaan, mengisi hari-hariku bersama Wiwi.
Setelah menikah, Wiwi membuka usaha toko meubel di rumahnya. Ia mempekerjakan beberapa tukang untuk memplitur pesanan juga sopir untuk mengangkut dan mengantar barang ke pembeli. Â Pertemuanku dengan Wiwi mulai rutin lagi, karena aku membantu bisnis Wiwi dengan menerima pesanan meubel dari teman-teman dan tetangga dengan pembayaran cicilan. Tiap bulan aku menyetorkan uang padanya. Ada saja pesanan yang aku terima, sehingga pertemuanku dengan Wiwi semakin sering terjadi.
Rumah Wiwi adalah rumah bisnis. Ada toko dan kamar yang disewakan untuk tempat tinggal. Â Aku menumpang di salah satu kamar kos milik ibu guru. Aku dan Wiwi menghabiskan waktu di sana sampai jam istirahat habis dan ibu guru pulang dari sekolah. Jika sampai siang aku belum datang, Wiwi pasti meneleponku, menawarkan makan siang bersama dengan menu yang sudah disiapkannya. Jika sudah begitu, biasanya aku bergegas menuju kamar kos dan Wiwi sudah menunggu di sana. Kami makan dengan nikmat sambil berbincang tentang banyak hal.
Perpisahan dengan Wiwi kembali terjadi karena aku dimutasi ke Tegal. Memiliki waktu untuk sekadar bertemu dan ngobrol rasanya sangat sulit. Hubungan sempat terputus karena aku kehilangan gawai sekaligus nomor-nomor kontak.
Alhamdulillah keinginanku untuk pindah tugas ke Purbalingga agar bisa tiap hari bertemu nenek akhirnya terkabul. Begitu juga perjumpaanku dengan Wiwi pun dimulai  lagi.
"Aku kirim tas rajut untukmu sekarang. Karyawanku sedang menuju kantormu, ditunggu, ya." Wiwi menelepon dari rumahnya di Kedungmenjangan, tidak jauh dari kantor dan rumahnya yang lama. Tas rajut warna hijau dan orange aku terima dengan suka cita.