"Cari sangu amal soleh, itu namanya persiapan, Sayangku." Aku tertawa untuk mengurai kepanikannya.
Bukankah memang begitu? Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Siapapun yang dikehendaki tetap hidup pasti akan hidup. Begitulah yang kudengar dari seorang Ustadz.
Terbukti tak berapa lama setelah besannya meninggal. Selang dua minggu kemudian, suami tercinta Wiwi, seorang mualaf menghembuskan nafas di rumah sakit.
Jerit tangis Wiwi seolah belum rela berpisah dengan suami yang empat puluh lima tahun hidup bersama. Air mata sahabatku menderas dalam pelukanku, mengundang air mataku yang turut berderai. Dada terasa sesak karena kesedihan. Aku berharap kepedihan ini segera berakhir dengan kesabaran dan keikhlasan.
Kami sama-sama menghentikan tangis karena sakit kepala yang luar biasa. Aku dan Wiwi punya kesamaan jika menangis, kepala menjadi sakit. Kupijit pucuk kepala Wiwi dan tengkuknya. Aku meminta pembantu membuatkan teh panas manis untuk Wiwi yang lemas.
Tamu-tamu berdatangan mengucapkan bela sungkawa. Para tetangga, jamaah masjid, pelanggan bengkel, rekan kerja semasa dinas, datang bersamaan hingga rumah terasa sesak.
Pemberangkatan jenazah masih satu jam lagi. Karangan bunga sebagai ucapan duka cita memenuhi halaman rumah. Kendaraan tamu berderet panjang di pinggir jalan, mereka akan mengikuti upacara pemberangkatan jenazah.
Seseorang bertubuh jangkung memakai celana keki dan kemeja lengan panjang hitam, memasuki ruang tamu dan mendekati Wiwi.
"Maaf Wi. Ini surat Mas Pathik untukmu, aku lupa dulu belum kusampaikan." Dialah Budiaji, teman sekolah yang mencomblangi Wiwi dan Mas Pathik hingga berjodoh.
Air mata Wiwi kembali membanjir diiringi senyum. Aku penasaran apa isi surat itu?
"Kenalkan adik manis, aku Pathik Wasito."
Akupun ikut tersenyum membaca kertas yang sudah menguning.
Purwokerto, 15 Oktober 2023